REPUBLIKA.CO.ID,DENPASAR -- Di antara 75 ribu warga Bali yang mengungsi akibat kemungkinan letusan Gunung Agung, terdapat warga yang juga pernah mengalami letusan dahsyat gunung berapi tersebut di tahun 1963.
Letusan Gunung Agung ketika itu menelan korban jiwa lebih dari 1.000 orang. Kenangan pada eksodus yang penuh kepanikan ketika itu menjadi alasan kuat untuk melakukan evakuasi saat ini. "Ada hujan abu," ujar Nyoman Smah (70 tahun) yang ketika itu berusia 16 tahun.
"Saya memakai topi, tapi terlalu besar dan berat karena abu, jadi saya lepas," katanya ketika ditemui ABC Australia.
"Aku melihat sekeliling dan mendengar suara gemuruh Gunung Agung, memuntahkan api, batu, dan abu panas," tuturnya. "Batu-batu dan abu itu jatuh ke sungai di timur dan mengalir ke bawah."
"Tanganku digenggam ibuku yang lengannya patah, dia juga membawa adik saya," kata Smah seraya menambahkan, "Saya hanya mengikuti orangtuaku."
"Saya tidak merasa takut karena saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saya tidak kenal takut," tambahnya.
Seorang warga lainnya yang juga mengalami peristiwa 1963 itu, I Kembar, melarikan diri dari Desa Kunyit, 3 kilometer dari puncak gunung. Dia sekarang tinggal di sebuah pusat evakuasi sekitar 15 kilometer dari Gunung Agung, bersama dengan sekitar 600 tetanggannya serta kucingnya Si Putih.
I Kembar mengatakan kucingnya Si Putih sedih karena meninggalkan rumah. ABC News: Adam Harvey
"Saya memelihara kucing ini sejak lama," katanya.
Dia tidak ingin kehilangan Putih di tempat evakuasi. "Saya bawa dia terus saat tidur, saat saya mandi," katanya.
Bagaimana rasanya setelah harus meninggalkan rumahnya?
Pak Kembar menjawab, "Dia sedih. Ngeong, ngeong, itu yang dia katakan."
Perasaan Pak Kembar - bukan si kucing? "Saya sedih," tukasnya.
Depresi para pengungsi
Pengungsi dari Gunung Agung tinggal di sekitar 400 tempat penampungan darurat yang didirikan di berbagai lokasi di Bali. Kemungkinan besar mereka akan berada di sana untuk beberapa lama.
Jika gunung ini terus bergemuruh, perintah evakuasi tidak akan dicabut. Jika sampai meletus dengan tingkat kekuatan apapun, para pengungsi ini bisa berada di tempat penampungan selama berbulan-bulan.
Jika letusan Gunung Agung sangat besar, warga mungkin akan berada di penampungan untuk waktu lama. ABC News: Adam Harvey
Terakhir kali gunung meletus terus-menerus selama setahun.
Depresi akibat kebosanan di tempat penampungan merupakan salah satu masalah terbesar.
Sekolah sementara didirikan untuk memberikan kesibukana bagi anak-anak sekolah. Namun tidak banyak bantuan bagi orang dewasa yang terjebak jauh dari sawah dan mata pencaharian mereka.
"Saya sedih, sangat sedih, saya bahkan tidak bisa mengungkapkannya," ujar seorang pengungsi Ni Ketut Sri Astini. "Saya bisa tersenyum sekarang, tapi saya sangat sedih," tambahnya.
Petugas medis yang ditugaskan ke tempat penampungan telah membantu merawat sejumlah warga yang sakit - kebanyakan yang masih belia atau sangat tua. Dengan tinggal bersama ratusan orang di bawah satu atap, virus penyakit bisa menyebar dengan cepat.
Petugas kesehatan memeriksa kondisi warga di tempat penampungan sekitar 15 kilometes dari Gunung Agung. ABC News: Adam Harvey
Seorang bidan Pande Putu Nancy Pratiwi, yang melakukan pengecekan kesehatan di satu pusat evakuasi, menjelaskan bahwa dia melihat banyak anak-anak terserang flu dan demam.
"Ada masalah di sini karena kualitas udara dan kebersihan," katanya.
"Karena kotor, jadi mempengaruhi kesehatan bayi dan balita," jelasnya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.