Kamis 28 Sep 2017 21:29 WIB

Trauma Anak-Anak Gaza yang Terus Berlanjut

Rep: Marniati/ Red: Agus Yulianto
Pengungsi Palestina menyusul Perang Arab-Israel 1948. Hingga kini, perang antara Palestina dan Israel masih berlanjut (Ilustrasi)
Foto: city-journal.org
Pengungsi Palestina menyusul Perang Arab-Israel 1948. Hingga kini, perang antara Palestina dan Israel masih berlanjut (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Tiga tahun setelah perang Israel di jalur Gaza, anak-anak yang berada di jalur tersebut terus menderita secara psikologis. Dilansir dari Aljazirah (27/9), serangan Israel yang terjadi pada tahun 2014 tersebut telah menghancurkan jalur Gaza dan menyebabkan lebih dari 2.200 orang Palestina terbunuh. 500 di antara korban tewas yaitu anak-anak.

PBB memperkirakan, saat ini lebih, dari 300 ribu anak-anak membutuhkan dukungan psikologis. Salah satu kisah datang dari Amir Ibrahim (9 tahun). Setiap kali Amir mendengar suara pesawat tempur Israel, suara guntur atau ledakan keras, dia bergegas lari ke orang tuanya untuk memperoleh perlindungan.

Juli lalu, pada malam pertama Idul Fitri, sebuah serangan Israel menyerang di dekat rumah Amir di kota Bani Suhaila, di Khan Younis, di bagian selatan Jalur Gaza. Pamannya dan dua tetangganya tewas dalam serangan tersebut. 37 lainnya terluka, termasuk Amir.

Tim penolong tidak dapat menemukan Amir dengan mudah. Mereka mengira dia sudah meninggal, namun kemudian Amir ditemukan sekitar 100 meter dari lokasi kejadian dengan, ditutupi pasir.

Amir menderita luka pada tengkoraknya dan patah tulang di rahangnya, "ibunya, Ibtisam (38), kemudian menunjuk ke pecahan peluru yang melukai Amir di berbagai belahan tubuhnya, terutama matanya dan paru-parunya. "Dia kehilangan salah satu matanya," ujar ibu Amir dengan suara sedih

Sejak perang, Amir menjadi pengunjung tetap rumah sakit. Dia menjalani serangkaian operasi di Israel dan Tepi Barat dan menghabiskan enam bulan di ICU, yang memaksanya untuk meninggalkan sekolah.

Ibtisam mengabdikan hidupnya untuk Amir. Dia meninggalkan bayinya yang baru lahir, yang lahir pada hari yang sama saat Amir terluka. Ia tinggal dengan Amir, yang dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Israel tiga hari setelah dia terluka.

Meskipun Amir telah pulih dari luka-lukanya, dampak psikologis dari perang terus menghantuinya. Dia terbangun sepanjang malam dan mengalami mimpi buruk. Amir hanya bisa tidur saat orang tuanya berada di sisinya. "Dia mengambil bantalnya dan mengikutiku, dia meletakkan bantalnya di pangkuanku dan tidur, jika dia bangun dan tidak menemukanku atau ayahnya di sebelahnya, dia mulai menangis, mencari kita," kata ibunya.

Zahia al-Qarra, seorang psikolog di Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza, mengatakan perang yang berlarut-larut terus membangkitkan kenangan, yang pernah hadir dalam imajinasi anak-anak. "Akhir perang tidak berarti anak-anak selamat," katanya.

Menurut Qarra, pemutusan listrik permanen, dan kehadiran pesawat Israel serta pembicaraan terus-menerus tentang perang yang akan segera terjadi memberikan dampak negatif terhadap moral anak-anak dan menyebabkan mereka terus dihantui oleh trauma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement