REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump harus memutuskan bagaimana sikap negaranya terhadap kesepakatan nuklir Iran pada 15 Oktober mendatang. Hal itu menjadi batas waktu yang ditentukan untuk menyetujui apakah Teheran diizinkan untuk mengembangkan program nuklir.
Sejak kesepakatan nuklir Iran yang dibuat bersama dengan enam kekuatan dunia dalam Dewan Keamanan PBB pada 2015 tercapai, Teheran dianggap telah mematuhi berbagai ketentuan dan perjanjian yang ada. Sejumlah aturan di dalamnya di antaranya adalah pemangkasan produksi uranium, serta meniadakan pengembangan senjata nuklir.
Dalam pertemuan Majelis Umum PBB pada 19 September lalu, Trump secara terbuka menyatakan bahwa tidak dapat menyetujui dan meneruskan kesepakatan nuklir tersebut. Hal itu sekalipun Iran terbukti mematuhi segala isi ketentuan di dalamnya.
Miliarder itu mengatakan AS akan berhenti memenuhi komitmen yang didasarkan dalam rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dengan negara-negara Eropa.
Karena itu, Prancis sebelumnya meminta agar AS terus menjaga kesepakatan tersebut. Negara yang dipimpin oleh Presiden Emmanuel Macron itu juga mengatakan agar Negeri Paman Sam melengkapi ketentuan serta perjanjian di dalamnya hingga kesepakatan diperpanjang setelah 2025 mendatang.
Bukan tidak mungkin, dengan sikap AS yang nampak enggan melanjutkan kesepakatan itu membuat Prancis dan sejumlah negara Eropa lainnya bersikap bersebrangan. Hubungan diplomatik masing-masing negara juga dapat berakhir dengan tidak baik.
Iran telah mematuhi JCPOA, seperti apa yang dikonfirmasi oleh Intelijen AS berulag kali. Demikian dengan badan intelijen mitra dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).