REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Komite Hak-hak Anak menyebut kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Rakhine, Myanmar, kemungkinan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Cedaw telah meminta otoritas Myanmar untuk segera menyelidiki dan mengadili kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak di negara bagian Rakhine.
"Kami sangat kahwatir tentang nasib perempuan dan anak-anak Rohingya yang tunduk pada pelanggaran serius hak asasi mereka, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan pemindahan paksa," kata CEDAW dalam sebuah pernyataan pada Rabu (4/10), seperti dilaporkan laman Aljazirah.
CEDAW menilai, pembunuhan, pemerkosaan, serta persekusi yang terjadi di negara bagian Rakhine dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Pelanggaran semacam itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kami sangat prihatin atas kegagalan negara (Myanmar) untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang mengejutkan ini," ujarnya.
CEDAW meminta agar Pemerintah Myanmar untuk memperhatikan dan melindungi perempuan serta anak-anak Rohingya yang berada di Rakhine. Termasuk mereka yang telah mengungsi ke Bangladesh. Menurutnya, gelombang pengungsian telah menyebabkan anak-anak dan perempuan Rohingya dihadapkan pada kondisi kemiskinan dan kekurangan gizi yang tinggi.
"Kami mendesak Pemerintah Myanmar untuk memenuhi kebutuhan pengungsi wanita dan anak-anak Rohingya, termasuk mereka yang saat ini tinggal di tenda-tenda pengungsian di negara-negara tetangga, dengan dukungan masyarakat internasional," kata CEDAW menjelaskan.
Pada Senin (2/10), Menteri Luar Negeri Bangladesh AH Mahmood Ali telah menggelar pertemuan dengan menteri untuk kanselor negara Myanmar Kyaw Tint Swe di Dhaka. Keduanya membahas beberapa hal, terutama tentang pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya di zona perbatasan Bangladesh ke Rakhine.
Setelah pertemuan tersebut, Ali mengatakan bahwa Bangladesh dan Myanmar telah sepakat untuk membentuk sebuah kelompok kerja gabungan untuk memulai repatriasi besar-besaran. Kendati demikian, Ali tidak membocorkan tentang bagaimana kelompok gabungan ini akan bekerja. Yang jelas, dia meminta Myanmar untuk menjamin keamanan dan keselamatan orang-orang Rohingya yang nantinya dipulangkan ke Rakhine.
Sebelumnya Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina juga telah menyerukan agar dihentikannya kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine. Ia pun meminta Myanmar agar menyiapkan zona aman agar para pengungsi Rohingya yang kini hidup di zona perbatasan Bangladesh dapat kembali ke desanya masing-masing.
PBB telah menyebut eksodus Rohingya ke Bangladesh sebagai krisis pengungsi terbesar dan paling mendesak di dunia. Menurut data PBB, sejak kekerasan pecah di Rakhine pada 25 Agustus, lebih dari setengah juta etnis Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh.
Para pengungsi terpaksa hidup di tenda-tenda dan kemah darurat di perbatasan Bangladesh serta harus menghadapi keterbatasan suplai makanan. Hidup mereka telah sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan.