Sineas Indonesia kembali ditantang untuk mengikuti Kompetisi Film Pendek dalam rangka Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2018. Tahun ini, satu pemenang telah diterbangkan ke Australia dan karyanya ditampilkan dalam Festival Film Internasional Melbourne (MIFF).
Seorang ibu tua yang menunggu anaknya pulang saat menyambut Hari Raya Idul Fitri adalah kisah yang digambarkan sutradara Mahesa Desaga dalam film-nya “Nunggu Teka”. Film pendek ini adalah pemenang pilihan juri dalam Kompetisi Film Pendek FSAI 2017 dan sempat diputar pada perhelatan MIFF 2017.
Selain kategori pilihan juri, ada pula pemenang pilihan penonton yang diraih film pendek “Ibu dan Anak Perempuannya” besutan Happy Salma. Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak perempuan merawat sang ibu yang tengah sakit keras.
Kini, kompetisi film pendek FSAI kembali hadir dengan hadiah perjalanan serupa yang diperoleh sutradara “Nunggu Teka”. Kompetisi ini terbuka untuk umum, tak hanya khusus sineas berpengalaman dan pendaftarannya akan ditutup pada tanggal 30 November.
“Siapa saja diundang untuk mengikuti kompetisi ini karena hadiahnya luar biasa, termasuk perjalanan ke Australia,” kata Duta Besar (Dubes) Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, di depan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada (5/10/2017).
Dalam acara peluncuran kompetisi film pendek FSAI 2018 di IKJ itu, Dubes Grigson juga menyampaikan apa saja kriteria dari kompetisi film pendek tersebut kepada mahasiswa dan media.
“Yang penting adalah imajinasi anda. Memang ada penilaian untuk kemampuan teknik, tapi yang terpenting adalah apa yang ada di sini (menunjuk kepala).”
Pemenang kompetisi film pendek ini, beserta karya mereka, akan diumumkan dan diputar pada ajang FSAI 2018 di bulan Januari tahun depan.
Pada penyelenggaraan kompetisi film pendek FSAI tahun ini, Institut Kesenian Jakarta terlibat dalam sesi penjurian. Ketua Senat Akademik Fakultas Film dan Televisi IKJ, Arturo Guna Priatna, menjadi salah satu panel juri dalam kompetisi tersebut.
Menurut Rektor IKJ, Seno Gumira Ajidarma, selama ini hubungan antara Indonesia dengan Australia di bidang budaya, utamanya perfilman, memang belum bersifat industrial, namun sangat berpotensi menuju ke arah sana.
“Tapi itu harus dilakukan lebih serius, menawarkan alternatif. Misalnya, kelebihan Australia itu kan pasti teknologi, nah gantinya apa di Indonesia?. Ide? Ide gila?. Jadi memang harus mengimbangi. Saya kira, itu bisa berjalan,” ujarnya kepada Nurina Savitri dari ABC.