11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Internasional, yang digagas oleh badan Perserikatan Bangsa-banga sejak 2012. Dalam situs resminya, PBB menjelaskan Hari Anak Perempuan Internasional menjadi ajang untuk menyoroti prestasi yang telah dicetak oleh jutaan anak perempuan di dunia, agar menjadi inspirasi bagi anak-anak perempuan untuk terus aktif dan memiliki peran penting di dunia.
Memperingati Hari Anak Perempuan Internasional 2017, ABC tampilkan lima sosok lima anak perempuan asal Indonesia di Australia. Usia mereka masih dibawah 20 tahun, tapi telah meraih prestasi, setidaknya bagi diri mereka sendiri.
Ameera Zandra Chairullah, 13 tahun, Queensland
Ameera pindah ke Australia pada September 2015, mengikuti kedua orang tuanya yang sedang melanjutkan studinya di jenjang doktoral. Di tahun ini, ia telah berhasil menjadi juara pertama kejuaraan karate Liga Nasional Shotokan, di negara bagian Queensland. Padahal, ia mengikuti latihan karate bukan untuk mengikuti kejuaraan.
"Awalnya saya dan suami berpendapat kalau anak-anak harus bisa menjaga diri, jadi sebenarnya disalurkan untuk mengikuti latihan karate ini hanya untuk bekal dia bela diri saja," ujar Deti Kusmalawati, ibu dari Ameera, yang sedang kuliah S3 bidang perencanaan kota di University of Queensland.
Ameera yang sudah latihan karate sejak kelas empat SD berpendapat jika banyak anak-anak perempuan yang sering mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Karenanya, siswi kelas tujuh Indooroopilly State High School ini berpendapat anak-anak perempuan perlu diberikan pemberdayaan.
"Pemberdayaan juga penting karena membantu anak-anak permpuan yang mengalami pelecehan dan bisa melewatinya dengan mudah," ujarnya yang merebut gelar juara karate di kategori Kata usia 12-13 tahun.
Kekuatan yang ia ingin miliki adalah kemampuan menjadi pemimpin. "Sebagai pemimpin, kita bisa memberikan rasa percaya diri dan mendukung anak-anak perempuan, karena mereka biasanya merasa malu atau tidak nyaman."
Regina Azwar, 15 tahun, New South Wales
Regina, siswi kelas 11 Gilroy Catholic College di New South Wales, bersama dua temannya, Justin Yu dan Tara Berry, pernah membuat sebuah acara yang mengajak anak-anak muda di Sydney untuk berkumpul menikmati seni.
Acara yang digelar bulan Agustus 2017 lalu sekaligus sebagai bentuk untuk mendukung kesehatan mental bagi anak-anak muda.
"Ada pertunjukan musik, kemudian pemutaran film, dan di malam hari ada sesi yang menampilkan hasil karya seni," jelas Regina yang juga pelukis. "Jadi banyak orang dari penjuru kota Sydney yang datang dan mempertunjukkan karya seni mereka."
Acara selama seharian tersebut telah mengumpulkan dana lebih dari $2,000, atau senilai lebih dari Rp 20 juta, yang disumbangkan bagi yayasan kesehatan mental anak muda.
Regina yang lahir di Sydney merasa anak-anak perempuan, terutama di usianya mendapatkan tekanan dari masyarakat. "Dalam masyarakat dengan pengaruh media yang kuat, ada interpretasi yang salah soal anak perempuan, berkomentar soal fisik dan penampilan kita, ingin kita menjadi seperti yang mereka harapkan."
"Saya ingin membuat karya seni yang bisa menunjukkan kepada anak-anak perempuan, 'hei, kamu tidak sendirian, bukan kamu saja yang merasa seperti itu, kamu tidak harus seperti apa yang mereka harapkan, jadilah dirimu sendiri'," ujarnya yang terinspirasi oleh sosok ayahnya, seorang arsitektur.
Azalea Kadija Li, 12 tahun, Australia Selatan
Aza, panggilan dari siswi Craigburn Primary School, Australia Selatan memiliki hobi bermain violin. Penyuka kucing ini pernah juga memimpin orkestra sekolahnya di gedung sekelas Adelaide Entertainment Centre.
Selain bermain violin, Aza juga gemar berlatih taekwondo. Dan baru-baru ini, ia ikut terlibat dalam film dokumenter berjudul "A Field Guide To Being a 12-year Old Girl."
"Film ini mempelajari 12 anak perempuan, berusia 12 tahun... menjelaskan siapa mereka. Saya hanya menceritakan diri saya sendiri," kata Aza yang lahir di Rumah Sakit Flinders, Adelaide.
"[Film ini] memperlihatkan jika anak-anak perempuan berusia 12 tahun memiliki dampak yang cukup luar biasa bagi dunia dan kita memiliki kemampuan."
Aza mengaku jika jika menjadi artis bukanlah sesuatu yang ia ingin lakukan di masa depan. Bukan juga menjadi atlet taekwondo atau pemain violin profesional. "Saya ingin menjadi insinyur, saya suka dengan bidang itu... dan sama seperti kedua kakak saya yang insinyur," ujar Aza yang menyukai pelajaran matematika.
Filmnya akan diputar bertepatan dengan Hari Anak Perempuan Internasional, 11 Oktober di Adelaide Film Festival dan ABC Me.
Wafa Rodhiyya, 14 tahun, Victoria
Wafa lahir di Jakarta dan baru pindah ke Melbourne, Australia bersama orang tuanya sekitar sembilan tahun lalu. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah mencetak banyak prestasi, mulai dari kompetisi mengeja, lomba membaca, hingga menjadi ketua kelas.
Di sekolah menengah, ia pernah mengikuti kompetisi di bidang sains, mendapat penghargaan di bidang akademis, aktif bermain tenis meja, lomba membaca puisi dalam bahasa Perancis, hingga penghargaan menulis buku.
"Saya senang terlibat dalam banyak hal dan menjadi aktif di sekolah dan banyak hal," ujar siswi Wellington Secondary School tersebut.
"Saya senang berkenalan dengan banyak orang dan meningkatkan kemampuan karena bisa belajar lebih banyak, menjadi orang yang lebih baik, dan meningkatkan kualitas diri."
"Anak-anak perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin dan berbagi pemikiran dan ide mereka," kata Wafa yang bisa berbahasa Inggris, Indonesia, membaca tulisan Arab, dan sedang mempelajari bahasa Perancis.
Wafa yang terakhir ke Jakarta sekitar dua tahun lalu merasa ingin melakukan sesuatu bagi anak-anak perempuan yang kurang beruntung di Indonesia.
"Salah satu inspirasi saya adalah Malala, karena ia sudah berjuang bagi pendidikan untuk anak-anak perempuan di Pakistan dan apa yang ia raih telah benar-benar membantu mereka bersekolah dan melakukan apa pun yang mereka inginkan, bukan apa yang orang tua mereka suruh."
Kannya Nadila Siregar, 17 tahun, Australia Utara
Mahasiswi Charles Darwin University di Kawasan Australia Utara ini memiliki misi budaya di masa depan.
Kannya, begitu panggilannya, sudah aktif mengikuti berbagai kegiatan budaya, termasuk memperkenalkan beragam tarian Indonesia sejak pindah ke Australia hampir tiga tahun lalu.
"Darwin sangat dekat dengan Bali, kebanyakan orang sudah pernah pergi dan tahu Bali, jadi saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekedar Bali," ujarnya yang pernah terpilih menjadi International Student of The Year di Northern Territory karena keaktifannya memperkenalkan budaya.
Tapi Kannya tidak ingin menjadi penari atau seniman. Ia justru ingin menjadi seorang diplomat, seperti ayahnya, Andre Omer Siregar, yang juga Konjen RI di Darwin.
"Saya ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara saya, saya bangga jadi warga Indonesia dan saya ingin menjadi seperti mereka yang melestarikan tradisi dan budaya kita."
Menurut Kannya, perempuan masih mengalami diskriminasi, dimana laki-laki masih dianggap lebih memiliki kuasa daripada perempuan. "Dilahirkan sebagai perempuan, bukan berarti kita lemah. Kita juga bisa melakukan hal-hal seperti pria."
"Kita bisa tunjukkan pada dunia soal kekuatan perempuan bukan hanya perbuatan saja, tetapi juga secara politik."