Sabtu 14 Oct 2017 07:16 WIB

Universitas di Dunia Didesak Beri Beasiswa untuk Pengungsi

Rep: Felicity Ogilvie/ Red:
abc news
abc news

Perguruan Tinggi di seluruh dunia didesak untuk menawarkan lebih banyak beasiswa kepada para pengungsi. Pada Konferensi Pendidikan Tinggi Internasional Australia di Hobart, Tasmanian peserta yang berasal dari 30 negara lebih mendengar hanya 1 persen dari 65 juta pengungsi di dunia yang memiliki gelar dari universitas.

Diplomat asal Portugal, Helena Barroco mengatakan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memberi lebih banyak pengungsi kesempatan pendidikan. "Pendidikan tinggi adalah kunci untuk melatih pemimpin dari  generasi di masa datang, siapa yang akan membangun kembali negara," katanya.

"Jika tidak, jika anda tidak berinvestasi pada kaum muda pada masa krisis, siapa yang akan membangun kembali negara-negara yang dilanda perang?"

Di Australia pada tahun 2016, sebanyak 17 persen warga Australia dilaporkan memiliki gelar kesarjanaan, dengan perkiraan di seluruh dunia mereka yang memiliki gelar kesarjanaan pada tahun 2011 menempati 6,7 persen dari hampir 7 miliar penduduk di seluruh dunia.

Helena Barroco memimpin sebuah program di Portugal yang telah memberikan kesempatan kepada 150 mahasiswa universitas Suriah mendapatkan beasiswa di luar negeri untuk menyelesaikan studinya. Dia mengatakan ada banyak orang lain di seluruh dunia yang membutuhkan bantuan serupa.

Organisasinya telah memulai sebuah gerakan global untuk meminta beasiswa darurat dihadirkan oleh universitas. Dan Helena Barroco mengatakan rekan-rekan para pengungsi yang berstatus mahasiswa juga harus membantu biaya pendidikan mereka.

"Jika Anda berpikir bahwa di seluruh dunia ada 230 juta mahasiswa, jika Anda bertanya kepada mereka saat mereka mendaftar di universitas untuk berkontribusi dengan menyumbangkan satu pound atau satu dollar (sekitar Rp10 ribu)  saja, anda juga dapat menyediakan dana untuk beasiswa guna mendukung para pengungsi," katanya.

Di Australia, para pengungsi atau pencari suaka memiliki pengalaman yang sangat berbeda dalam mengakses universitas.

Arif Hazara, 22, melarikan diri dari perang di Afghanistan dan tiba di Australia dengan kapal pada tahun 2011 untuk mencari kesempatan perlindungan dan kesempatan belajar.

"Saya memutuskan bahwa alih-alih dipengaruhi oleh keadaan yang tidak dapat saya kendalikan, saya harus mengalihkan perhatian dan saya mulai belajar bahasa Inggris," katanya.

Pengungsi Arif Hazara menyelesaikan gelar akuntansi.
Arif Hazara memiliki gelar akuntansi dan mengatakan latar belakang pengungsinya tidak harus membatasinya.

ABC News: Felicity Ogilvie

Hazara mendapatkan status pengungsi dan visa perlindungan yang memberinya akses ke dana bantuan Persemakmuran.

Dia sekarang telah menyelesaikan gelarnya dibidang akuntansi dan mulai bekerja penuh waktu. "Kami berasal dari latar belakang pengungsi, tapi itu tidak benar-benar menentukan siapa kita," katanya.

"Hanya saja kami harus menghadapi keadaan, yang telah menyebabkan kami meninggalkan negara kami dan datang ke Australia atau pergi ke negara lain.

"Kami memiliki aspirasi seperti yang lainnya."

Namun, ambisi para pengungsi lainnya yang mencari suaka di Australia telah tertahan oleh status visa mereka. Karen Dunwoodie adalah seorang mahasiswa PhD di Monash University yang bekerja dengan Dewan Pengungsi Australia untuk membantu orang mengakses pendidikan.

Dia mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki visa perlindungan sementara hanya bisa belajar jika mereka membayar biaya pendidikan dengan tarif yang sama sebagaimana pelajar internasional.

Karen Dunwoodie mengatakan bahwa negara-negara bagian di Australia berusaha mengisi sejumlah kesenjangan, dan universitas juga menawarkan beasiswa.

Seorang juru bicara untuk Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton mengatakan bahwa pembayar pajak Australia telah mendanai $ 1,9 miliar per tahun untuk para pengungsi di daratan.

"Pada saat yang sama, kita termasuk negara-negara yang paling murah hati di dunia untuk program pengungsian dan bantuan kita," kata mereka.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement