Jumat 13 Oct 2017 14:47 WIB

Menimbang Kembali Manfaat Universitas Bagi Generasi Muda

Wisuda
Foto: ABC News
Wisuda

REPUBLIKA.CO.ID,Gantungkan masa depan anda di tangan anda sendiri. Ubah hidup anda, ubahlah dunia. Bertumbuhlah di tengah kemajuan teknologi. Begitulah bunyi beberapa slogan yang didengungkan sejumlah universitas di Australia.

Dalam iklan mereka, universitas di Australia menjanjikan calon mahasiswa begitu banyak hal. Anda mungkin bertanya-tanya mengapa mereka perlu beriklan -sementara 36 persen populasi Australia telah meraih pendidikan tinggi di tahun 2011 dibandingkan 2 persen di tahun 1971.

Universitas-universitas di Australia-pun mendapat pemasukan lebih dari 27 miliar dolar AS (atau setara Rp 270 triliun) di tahun 2014. Tapi dengan meningkatnya jumlah lulusan, daftar kurangnya tenaga terampil dan pertumbuhan upah, pertanyaan ini harus diajukan: layakkah untuk mengejar gelar pendidikan tinggi?

Menelisik keuntungan pendidikan tinggi

Bagi calon mahasiswa, argumen utama dari gelar universitas adalah dampak positifnya terhadap gaji di sepanjang hidup. Andreas Schleicher, direktur pendidikan dan keterampilan di Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengatakan, perbedaan gaji itu cukup besar jumlahnya di Australia.

"Anda berpenghasilan 300 ribu dolar AS (atau setara Rp 3 miliar) lebih tinggi daripada mereka yang tak melanjutkan pendidikan tinggi."

Level gengsi universitas hanya punya dampak ‘moderat’ terhadap penghasilan, kata Andrew Norton. Unsplash: Aaron Cinard

Ada juga manfaat bagi para pembayar pajak.

"Orang yang lebih berpendidikan membayar pajak lebih besar, menimbulkan biaya sosial yang lebih rendah -itu investasi yang bagus," kata Schleicher.

Tapi, menurut direktur program pendidikan tinggi di Institut Grattan, Andrew Norton, dampak positif terhadap upah sepanjang hidup itu tak seragam di semua gelar. "Penelitian kami secara konsisten menemukan bahwa jika anda menempuh gelar seperti kedokteran, kedokteran gigi, hukum, atau teknik...itu adalah kunci dari penghasilan yang baik," jelasnya.

"Anda lebih baik mengejar gelar teknik di universitas yang kurang bergengsi daripada mengejar gelar seni di universitas bergengsi Australia.”

Tapi bagi Alison Wolf, seorang ekonom dan professor manajemen sektor publik di Kings College, London, asumsi bergengsi dari universitas yang dipilih seharusnya tak begitu saja diabaikan. Bagi pihak pemberi kerja atau perusahaan, gelar dari “8 universitas paling bergengsi’ di Australia bisa berfungsi sebagai tahap kualifikasi awal.

“Itu memberi sinyal kepada masyarakat bahwa mahasiswa tersebut relatif pintar, karyawan dengan masa depan bagus -jenis orang yang tidak akan dilepas dalam proses rekrutmen,” kata Profesor Wolf.

Tapi ia juga percaya bahwa mahasiswa seharusnya punya banyak pilihan dalam gelar cadangan dan tingkat Pendidikan teknis. “Jika anda berusia 18 tahun dan ingin mengejar kualifikasi pendidikan tinggi, anda bisa menempuh gelar penuh waktu selama 3 tahun, pada dasarnya seperti itu,” kata Prof Wolf.

Bagi mahasiswa di Inggris, Profesor Wolf mengatakan, kurangnya Pendidikan teknis level menengah ‘benar-benar salah’ dan ‘sangat tidak adil’.

Begitu jarang melihat universitas menawarkan program di luar level gelar. Unsplash: Davide Cantelli

Universitas tak lagi berpandangan luas

Selama ini, pendidikan di universitas punya komponen sosial yang luas: menjalin pertemanan baru, duduk di ruang umum mendebatkan masalah global dengan orang asing.

Bagi mahasiswa pendidikan tinggi Australia sekarang ini, tak ada cukup waktu untuk melakukan hal itu. Data Biro Statistik Australia menunjukkan bahwa, bagi banyak mahasiswa, bekerja sambil kuliah itu lebih penting.

Berbeda dengan sistem pendidikan tinggi Amerika atau Inggris, banyak mahasiswa Australia tak pindah kota atau tempat tinggal untuk kuliah. Hampir 40% mahasiswa Australia tinggal dengan orang tua mereka.

Sementara itu, aktivisme mahasiswa -lahan yang subur untuk pengembangan pikiran dan memperluas pertemanan -tak pernah kurang diminati seperti sekarang ini. Bagi editor ekonomi koran Fairfax, Ross Gittins, komponen sosialisasi telah lama hilang.

“Satu hal yang saya cermati adalah, anda berbicara dengan anak muda dan mengatakan, ‘Siapa temanmu?’ dan mereka akan menjawab, ‘Teman-teman sekolah saya’. Di generasi saya, kami bilang, ‘Teman-teman kampus saya’.”

Bisakah gelar menjadi masalah?

Schleicher mengatakan, universitas-universitas -dan jenis kualifikasi yang mereka tawarkan -dirancang untuk masa yang sangat berbeda. Kualifikasi kami, menurutnya, ‘kaku’ -dengan asumsi tenaga kerja yang secara relatif statis, di mana lulusan tak diminta untuk beradaptasi dan terlibat dengan lingkungan baru secara terus -menerus.

Peluang untuk terus belajar sepanjang hidup, menurut Schleicher, adalah tantangan besar bagi universitas modern. “Jika anda terus belajar di tempat kerja, atau belajar di universitas di kemudian hari, saya pikir masih akan ada jurang antara kebutuhan masyarakat modern dengan universitas konvensional sebagai institusi.”

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/menimbang-kembali-manfaat-universitas-bagi-generasi-muda/9045328
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement