Sabtu 14 Oct 2017 19:42 WIB

Kofi Annan: Myanmar Perlu Sediakan Rumah, Bukan Pengungsian

Rep: Fira Nursya’bani/ Red: Endro Yuwanto
Kofi Annan
Foto: AFP
Kofi Annan

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Kofi Annan, mendesak Myanmar untuk memastikan pengungsi Rohingya dapat pulang ke rumah mereka, bukan ke kamp-kamp pengungsian. Setengah juta pengungsi Muslim Rohingya diketahui telah melarikan diri dalam dua bulan terakhir ini dari Myanmar ke perbatasan Bangladesh.

"Pemerintah Myanmar perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi para pengungsi untuk kembali dengan rasa aman dan membantu mereka membangun kembali Negara Bagian Rakhine yang dilanda kekerasan," kata Annan, yang juga memimpin sebuah komisi mengenai krisis di sana, Jumat (13/10).

Menurut Anan, pengungsi Rohingnya seharusnya tidak dikembalikan ke kamp. "Mereka butuh bantuan untuk dapat mengembalikan rumah mereka," katanya setelah berbicara dalam pertemuan tertutup dengan Dewan Keamanan PBB mengenai masalah tersebut, Jumat.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan dia telah menciptakan sebuah komite untuk mengawasi semua bantuan internasional dan lokal yang masuk ke Rakhine. Menurutnya, saat ini negara bagian yang miskin itu sangat memerlukan pembangunan.

Sebanyak satu juta warga Rohingya telah menjadi kelompok minoritas teraniaya di Myanmar. Mayoritas umat Buddha di negara itu menganggap mereka telah bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh, walaupun faktanya banyak keluarga Rohingya yang tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

Dalam sebuah eksodus yang belum pernah terjadi sebelumnya, lebih dari 500 ribu warga Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 lalu. Banyak rumah dibakar dan pengungsi Rohingya mengaku mengalami pemerkosaan, penjarahan, dan pelecehan.

PBB dan beberapa negara telah menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa pembersihan etnis. Namun Pemerintah Myanmar menolak tuduhan itu dan justru menyalahkan teroris atas krisis yang terjadi di Rakhine.

Dalam sebuah pertemuan di akhir bulan lalu, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat telah menuntut diakhirinya pembersihan etnis di Rakhine. Sementara, Duta Besar Cina untuk PBB meminta agar dunia lebih bersabar. Begitupun dengan Duta Besar Rusia untuk PBB yang memperingatkan tekanan berlebihan hanya akan memperburuk situasi.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement