Ahad 15 Oct 2017 10:17 WIB

Kekerasan Gender, Jadi Pembunuh Mematikan Bagi Perempuan

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Mayang Prasetyo, transgender asal Indonesia (kiri) dan pasangannya Marcus Volke. Mayang terbunuh pada Oktober 2014 di Brisbane, Australia (Ilustrasi)
Foto: ABC
Mayang Prasetyo, transgender asal Indonesia (kiri) dan pasangannya Marcus Volke. Mayang terbunuh pada Oktober 2014 di Brisbane, Australia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR: Sebuah studi yang dilakukan oleh Patrisk Barron dari The Asia Foundation Kamis (13/10) lalu menyatakan, kekerasan berbasis gender adalah salah satu bentuk kekerasan paling mematikan di Asia. Hal tersebut lebih banyak menyebabkan kematian pada perempuan berusia 19 dan 44 tahun dibandingkan kematian yang disebabkan oleh konflik bersenjata di beberapa wilayah, atau karena kanker, dan kecelakaan mobil.

Dilansir dari Arab News, dia mengatakan, bahwa studi selama dua tahun mengenai konflik dan kekerasan itu mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Asia memiliki dampak yang lebih besar dan lebih mematikan daripada yang diperkirakan sebelumnya.  Di India, misalnya, penelitian tersebut menunjukkan lebih dari 8.000 wanita terbunuh setiap tahun karena sengketa mas kawin.

Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada yang meninggal dalam pemberontakan Maois di India timur tahun lalu. "Buktinya tidak mutlak tapi jelas menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah salah satu pembunuh terbesar di Asia," kata Barron, Sabtu (14/10).

Dia menambahkan, bahwa studi tersebut juga menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender menjadi ancaman paling mematikan bagi perempuan di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Timor Lorosa'e. Namun, kurangnya data menghambat kesimpulan yang pasti.

"Masalahnya adalah banyak kekerasan berbasis gender terjadi di dalam rumah tangga dan karena norma budaya tidak memperbolehkan pelaporannya, maka banyak hal yang terjadi tidak dilaporkan," katanya.

Barron berharap, temuan tersebut akan memacu pembuat undang-undang untuk bertindak mengatasi masalah tersebut. Kata dia, sering sekali perhiasan, mobil atau uang  diberikan oleh keluarga pengantin wanita kepada pengantin pria dan orang tuanya untuk memastikan pengantin wanita akan dirawat di rumah barunya.

"Kebiasaan tersebut telah dilarang di India namun masih banyak dipraktekkan. Perselisihan terjadi saat keluarga mempelai pria menuntut lebih banyak uang setelah menikah, sering mendorong wanita tersebut untuk bunuh diri dan dalam kasus terburuk dibunuh oleh suami dan keluarganya," katanya.

Pemimpin regional konflik dan pembangunan India mengatakan, hal serupa juga terjadi di Nepal, di mana kekerasan berbasis gender telah menjadi bentuk kekerasan paling mematikan tahun ini. Pembunuhan "Kehormatan", kematian terkait mas kawin dan penghinaan perempuan telah bertahan di beberapa wilayah di Asia Selatan, termasuk India dan Pakistan. Kendati kampanye telah dilakukan bertahun-tahun untuk menghentikan praktik ini.

"Kami melihat adanya peningkatan kekerasan saat perempuan menegaskan hak mereka," ujarnya.

Selain itu adanya budaya untuk mengisolasi perempuan yang haid ke gudang masih terjadi di Nepal. Mereka di isolasi di daerah terpencil di Nepal, mengakibatkan beberapa orang meninggal akibat serangan binatang liar atau gigitan ular.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement