Ahad 15 Oct 2017 14:33 WIB

Surga Kecil Rohingya di Amerika

Rep: rizkyan adiyudha/ Red: Joko Sadewo
Salah satu sudut di kawasan Roger Park, Chicago
Foto: yochicago.com
Salah satu sudut di kawasan Roger Park, Chicago

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Lokasi demi lokasi di berbagai belahan dunia terus disinggahi para pengusngsi Rohingya. Ini dilakukan untuk menghindari agresi yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis muslim tersebut.

Terhitung lebih dari 500 ribu Rohingya pergi meninggalkan Rakhine sejak operasi militer yang dilakukan 25 Agustus kemarin. Divonis hilang kewarganegaraan dan tidak diakui pemerintah sebagai penduduk Myanmar, mereka terus berupaya mencari labuhah demi kelangsungan hidup.

Rogers Park di bagian utara Chicago merupakan salah satu kawasan yang menjadi konsentrasi terbesar pengungsi Rohingya di Amerika Serikat. Penduduk di kawasan itu sudah meninggalkan kampung halaman bertahun-tahun sebelum tindakan militer terakhir.

Meskipun, tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan keluarga di tanah kelahiran. Sekitar 400 keluarga tercatat menempati lokasi pengungsian tersebut.

Mereka berjuang bangkit menata kembali kehidupan sembari berusaha melebur gaya hidup di Amerika dengan kebudayaan Islam serta tradisi suku. Berutung, komunitas Rohingya, dan imigran lainnya bahu-membahu membantu pengungsi membangun kehidupan mereka.

Hangatnya interaksi antar penduduk membuat lokasi pengungsian bagai 'surga' kecil di tengah kondisi tak menentu. Paling tidak hingga pemerintah serta militer Myanmar siap menerima mereka kembali.

Abdul Samad merupakan salah satu pengungsi yang meninggalkan keluarga sejak dua tahun lalu. Bersama sang ayah, mereka kabur ke Malaysia. Pria 25 tahun itu mengaku baru saja berbincang dengan ibunya di Myanmar.

"Aku merindukanmu anakku. Aku berharap suatu hari kita dapat berkumpul kembali," ungkap Samad menirukan kata-kata ibunya di telepon seperti dikutip New York Times, Ahad (15/10).

Pusat kebudayaan Rohingya, masjid Jamia dan toko grosir Shwe Myanmar menjadi lokasi bagi para pengungsi untuk saling berinteraksi. Ketiga lokasi itu menjadi penghubung bagi warga untuk bersosialisasi, beribadah hingga mendapatkan berbagai kebutuhan.

Bangunan apartemen di Rogers Park dipenuhi dengan warga yang memenuhi lokasi tersebut selama beberapa tahun. Kaum muda kemudian membangun komunitas di sekitaran Warren Park.

Meski demikian, kondisi sebagai pengungsi tidak memudahan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa yang beruntung bisa bekerja sebagai agen penerjemah bagi pemukiman. Sementara sisanya bekerja sebagai buruh di pabrik ayam atau bandara, hingga menjual balon di sudut jalan.

Kendati kesempatan mendapatkan jaminan pendidikan anak hingga jaminan kesehatan membuat tantangan itu layak dilakukan. Mereka, untuk pertama kalinya sepanjang hidup, dapat merasa relatif aman.

Samad bertemu Bibi yang kemudian menjadi istrinya di Amerika pada 2016 lalu. "Rohingya, kami ingin tinggal bersama, kami ingin perdamaian," katanya.

Junta militer Myanmar pada 1982 lalu membuat sebagian besar warga Rohingya kehilangan status kewarganegaraan, termasuk Laila Nobihousen. Dia bersama keluarganya lantas pergi mengungsi.

Laila saat ini tinggal di sebuah hunian bersama dengan pasangan lain yang ditemuanya di atas perahu saat melarikan diri dari Myanmar. Hingga saat ini dia mengaku rindu dengan budaya, desa hingga keluarganya.

Di Chicago, Laila melahirkan seorang anak yang kemudian mendapatkan naturalisasi kewarganegaraan Amerika. Anaknya merupakan anggota keluarga pertama yang memiliki status kewarganegaraan jelas.

"Saya tidak bisa melupakan semua yang telah terjadi. Saat ini saya berpikir, suatu hari kami kembali ke sana dan mengatakan jika kami adalah orang Amerika yang berpendidikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement