REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International mendapatkan bukti-bukti kekerasan seksual yang dilakukan tentara Myanmar terhadap perempuan-perempuan Rohingya di Rakhine Utara. Bukti-bukti itu dituliskan dalam laporan berjudul "My World Is Finished: Rohingya Targeted in Crimes against Humanity in Myanmar" yang terbit pada Rabu (18/10).
Dalam laporan tersebut, Amnesty International telah mewancarai tujuh penyintas Rohingya yang mengalami kekerasan sekusual yang dilakukan oleh militer Myanmar. Empat dan satu perempuan berusia 15 tahun dari ketujuh tersebut telah diperkosa oleh setiap kelompok tentara yang datang.
Pemerkosaan terjadi di dua desa yang diinvestigasi oleh Amnesty International yaitu di Min Gyi di kota Maungdaw dan Kyun Pauk di kota Buthidaung. Seperti yang sebelumnya didokumentasi oleh Human Rights Watch dan the Guardian, tentara Myanmar, setelah memasuki Min Gi, yang dikenal dengan nama Tula Toli, pada 30 Agustus mengejar warga Rohingya yang melarikan diri ke tepi sungai.
Setelah menangkap mereka, tentara memisahkan perempuan dan laki-laki dan anak-anak. Setelah menembak dan membunuh laki-laki, tentara Myanmar menarik perempuan Rohingya tersebut dan membawanya ke dalam rumah untuk diperkosa secara bergantian. Setelah memperkosa perempuan-perempuan tersebut, tentara membakar rumah dan perkampungan Rohingya dan kemudian pergi.
S.K. (30 tahun) menceritakan kepada Amnesty International bahwa setelah melihat pembunuhan tersebut, dia dan wanita dan remaja perempuan Rohingya lainnya dibawah ke parit dan dipaksa berdiri di air setinggi lutut. Menurut S.K, setelah memerkosa perempuan, tentara membakar rumah dan pergi. Banyak dari perempuan-perempuan yang telah diperkosa tersebut mati terbakar di dalam rumah.
Kejahatan lainnya yang dilakukan oleh militer Myanmar yaitu adanya pembakaran desa yang sistematis dan terorganisir. Pada tanggal 3 Oktober 2017, Operational Satellite Applications Programme (UNOSAT) milik PBB telah mengidentifikasi bangunan dengan total luas 20,7 kilometer persegi telah terbakar di Maungdaw dan Buthidaung sejak 25 Agustus. Total luas area yang terbakar diperkirakan lebih besar disebabkan oleh awan tebal yang menghalangi satelit untuk mendeteksi secara keseluruhan.
Amnesty International menganalisa data satelit tersebut dan menemukan bahwa setidaknya terdapat 156 titik api besar di Rakhine sejak 25 Agustus. Dalam lima tahun terakhir pada jenjang waktu tidak pernah terdeteksi api di wilayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa kebakaran tersebut dilakukan secara sengaja.
Menurut Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty Internasional di Indonesia, Tirana Hassan, hasil analisa foto dan data satelit konsisten dengan apa yang diutarakan oleh saksi-saksi dalam interview dengan Amnesty International Indonesia bahwa tentara Myanmar hanya membakar perkampungan milik Rohingya.
Sebagai contoh, citra satelit di desa Inn Din dan Min Gyi menunjukkan bangunan yang rata oleh api hampir berdampingan dengan area yang tidak tersentuh. Wilayah yang tidak tersentuh oleh api tersebut adalah perkampungan warga etnis lainnya yang bukan Rohingya. Amnesty International menemukan pola pembakaran diskriminatif yang serupa di puluhan desa lainnya.
Otoritas Myanmar bisa membantah dan mencoba untuk lari dari tuduhan pembunuhan skala besar tersebut tapi teknologi modern ditambah dengan penelitian hak asasi mendalam telah mempertegas keterlibatan mereka, kata Tirana.
Tirana menegaskan, sudah saatnya masyarakat internasional bergerak, tidak hanya mengecam, tapi mengambil langkah konkrit untuk menghentikan kekerasan yang mengakibatkan hampir setengah dari populasi Rohingya di Rakhine melarikan diri.
"Dengan memutus kerjasama militer, menerapkan embargo senjata dan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab, sebuah pesan akan tersampaikan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar di Rakhine tidak akan ditolerir," ujar Tirana.
Masyarakat internasional, lanjut Tirana, harus memastikan bahwa pembersihan etnis ini tidak berlanjut dengan cara mendukung dan membantu Bangladesh menyediakan perlindungan yang aman bagi pengungsi Rohingya dan memastikan bahwa Myanmar harus menghargai hak warga Rohingya untuk kembali secara selamat di perkampungan mereka.
"Myanmar juga harus menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap Rohingya dan menyelesaikan akar permasalahan dari krisis saat ini, kata Tirana.