Kamis 19 Oct 2017 03:38 WIB

Brexit Picu Serangan Terhadap Muslim Inggris Meningkat

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Esthi Maharani
Warga muslim memanjatkan doa bagi korban teror di Manchester, Inggris (23/5)
Foto: Peter Nicholls/Reuters
Warga muslim memanjatkan doa bagi korban teror di Manchester, Inggris (23/5)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Jumlah kejahatan kebencian terhadap warga Inggris dari etnis atau agama minoritas melonjak 29 persen. Peningkatan kejahatan ini terjadi dalam periode Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan setelah terjadinya serangan baru-baru ini.

Departemen Dalam Negeri Inggris mengatakan terdapat kenaikan 29 persen dalam setahun menandai lompatan tahunan terbesar dalam kejahatan kebencian sejak angka pertama kali tercatat pada tahun 2011. Antara tahun 2015 dan 2016, terdapat 62.518 pelanggaran yang dilaporkan. Tahun berikutnya, angka itu naik menjadi 80.393, dilansir dari Aljazirah, Rabu (18/10).

Ada kenaikan yang nyata dalam kejahatan kebencian dalam periode saat referendum UE, kata laporan tersebut, merujuk pada referendum Brexit. Pelanggaran agama atau ras diperburuk dan meningkat dalam bulan-bulan menjelang pemungutan suara, dari sekitar 3.500 insiden yang tercatat pada bulan April 2016 sampai lebih dari 5.000 pada bulan Juni tahun yang sama, ketika keputusan untuk meninggalkan UE diumumkan. Pada bulan Juni 2017, dilaporkan bahwa kejahatan kebencian mencapai puncaknya sebanyak 6.000 orang.

Angka-angka tersebut meningkat setelah insiden Westminster Bridge, Manchester Arena dan London Bridge, yang berlangsung pada bulan Maret, Mei, dan Juni tahun ini. Peristiwa itu menyebabkan kematian lebih dari 30 jiwa. Islamophobia cenderung meningkat setelah kekerasan disangkakan kepada Muslim. Anggota senior Asosiasi Muslim Inggris Ragad Altikriti mengatakan wanita muslim menderita lebih banyak dalam hal ini.

"Brexit dianggap banyak orang sebagai sinyal bahwa pengungsi tidak diterima, jadi ada peningkatan kejahatan kebencian termasuk komunitas Muslim, terutama wanita yang tampak Muslim. Jilbab itu digabungkan dianggap asing dan tidak disambut baik." kata Altikriti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement