REPUBLIKA.CO.ID, HARARE -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjuk Presiden Zimbabwe Robert Mugabe sebagai Duta Besar Goodwill yang akan membantu banyak orang dalam mengatasi penyakit tidak menular. Selama ini, pria kelahiran 21 Februari 1924 itu dinilai telah berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negara itu.
"Zimbabwe telah berkomitmen terhadap kesehatan masyarakat," ujar kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat memberikan pujian terhadap negara yang dipimpin Mugabe, dilansir BBC, Jumat (20/10).
Meski demikian, penunjukkan Mugabe sebagai Duta Goodwill oleh WHO dinilai tidak layak. Hal itu karena sepanjang masa pemerintahannya, Zimbabwe disebut tidak memiliki layanan kesehatan yang baik. Mulai dari banyak petugas medis yang tidak mendapat bayaran layak secara rutin, hingga pasokan obat-obatan yang kerap sangat terbatas dan kurang.
Mugabe yang terpilih sebagai Duta Goodwill WHO juga diyakini akan menimbulkan banyak pertanyaan dari para negara anggota organisasi kesehatan internasional tersebut, serta penyumbang mereka. Salah satu alasan utama adalah sosok dari pria berusia 93 tahun itu yang dikenal dengan pelanggaran hak asasi yang dilakukan olehnya, bersamaan dengan fasilitas kesehatan di negara yang ia pimpin tidak berjalan baik.
Sebelumnya, Mugabe dikenal sebagai sosok yang menengahi kulit hitam dan putih. Selama tujuh tahun, ia berfokus pada proses rekonsiliasi. Ia pun menjadi salah satu pemimpin di Afrika yang dikagumi dan dikenal sebagai sosok pejuang kebebasan untuk Zimbabwe, yang juga berdampak untuk negara-negara di sekitarnya.
Namun, Mugabe yang dianggap sebagai seorang pemimpin terhormat nampaknya mulai berubah sikap. Kekuasaan membuatnya lupa diri, hingga kemudian pria kelahiran 21 Februari 1924 itu dikenal telah menjadi penguasa yang otoriter di negara yang dahulu dikenal dengan nama Rhodesia tersebut.
Mugabe mulai menunjukkan sikap otoriter dirinya pada 2000, ketika warga Zimbabwe menolaknya adanya konstitusi baru melalui sebuah referendum. Undang-undang baru semula hendak diciptakan untuk memberi kekuatan jauh lebih besar terhadap presiden.
Karena itu, Mugabe memulai sejumlah kebijakan yang kontroversial. Pertama adalah program reformasi pertanian yang dianggap hanya membuat keterpurukan ekonomi warga. Pada tahun yang sama degan rencana referendum konstitusi, ia menerapkan untuk mengaambil alih secara paksa lahan pertanian dari petani kulit putih ke warga kulit hitam. Namun, warga kulit hitam tidak memiliki persediaan benih pupuk, dan bahan bakar yang cukup, hingga akhirnya terpaksa mengimpor biji pangan dari negara-negara tetangganya yaitu Afrika Selatan, Zambia, dan Malawi.
Banyak kritik internasional, serta tekanan dari dalam negaranya sendiri yang telah ia abaikan.Mugabe juga berkali-kali mengatakan tidak akan melepaskan kekuasaan dan ingin menjadi pemimpin Zimbabwe hingga berusia 100 tahun.