REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengkritik kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap Muslim. Erdogan mengatakan AS tidak dapat disebut sebagai negara yang beradab.
"Apa yang mereka sebut Amerika? Tempat lahir demokrasi. Hal seperti itu tidak bisa disebut demokrasi dan namanya tidak bisa disebut demokrasi," kata Erdogan dalam sebuah forum di Universitas Ibn Haldun, Istanbul, dilansir dari Anadolu Agency, Sabtu (21/10).
Pada 15 Juni, AS diketahui mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk 16 pengawal Erdogan yang diduga terkait dengan perkelahian di luar kedutaan besar Turki di Washington selama kunjungan presiden Turki tersebut, Mei 2017. Dengan tegas, Erdogan menolak mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk 13 pengawalnya.
Erdogan justru mengatakan, dia dan tim keamanannya menghadapi ancaman selama kunjungan. Penjaga keamanan mengambil tindakan untuk keselamatannya.
Erdogan juga mengkritik kebijakan Trump mengenai Muslim. Menurut dia, Trump menggunakan istilah teroris hanya untuk umat Islam. Tidak seperti AS, Erdogan mengatakan, Turki tidak pernah menutup pintu untuk orang-orang yang berpikiran berbeda.
"Muslim di AS menghadapi pengusiran, itu berarti ada masalah di negara itu," kata Erdogan, seraya meragukan kemampuan Trump untuk menilai sebuah peradaban. "Saya minta maaf, tapi saya tidak akan mengatakan bahwa negara tersebut beradab," tegas dia.
Trump memberlakukan pembatasan baru pada bulan lalu, untuk menggantikan aturan larangan perjalanan yang dibuat sebelumnya. Dua negara berpenduduk mayoritas non-Muslim masuk ke dalam daftar tersebut. Negara-negara yang dikenai larangan perjalanan oleh Trump adalah Chad, Iran, Libya, Korea Utara, Somalia, Venezuela, dan Yaman.