REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi yang juga pengamat dari Universitas Indonesia, Shofwan mengatakan, Pemerintah Myanmar membuat framing kalau masalah utama di Myanmar merupakan persoalan internal pemberontakan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Pembangunan sudut pandang ini dibuat untuk menutupi masalah sesungguhnya.
"Masalah sesungguhnya di Myanmar merupakan adanya kejahatan kemanusiaan oleh rezim militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Namun sayangnya banyak negara sulit bersikap karena mereka berhasil dikontruksikan persepsinya oleh Myanmar," ujar Shofwan dalam Publik Ekspos Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) di Jakarta, Selasa (24/10).
Kejahatan kemanusiaan di Rohingya, jelas dia, dilakukan berulang-ulang oleh Pemerintah Myanmar. Ini jadi basis persoalannya dan cukup disayangkan jika Pemerintah Indonesia termakan oleh kontruksi cara berpikir Pemerintah Myanmar. Indonesia terlalu bersikap hati-hati.
Pemerintah Myanmar, kata ia, berhasil mengkampanyekan serangan sporadis ARSA sebagai masalah utama dan besar. Sehingga bisa membenarkan penganiayaan terhadap etnis Rohingya. Inilah yang ada di pikiran orang Myanmar termasuk para akademisi Myanmar. "Kalau di pilihan kata saja kita sudah kalah, ya susah. Inilah mengapa kita berkumpul hari ini, melakukan kampanye itu penting."
Kalau dunia internasional masih belum bereaksi kuat, berarti tekanan untuk mengatasi kejahatan kemanusiaan Rohingya masih belum kuat. "Kita harus memperkuat jaringan advokasi, tak cuma di Indonesia saja. Namun kita harus meningkatkan kemampuan menggalang solidaritas," ujar Shofwan.
Lebih dari 600 ribu warga Rohingya mengungsi dari wilayah Rakhine di Myanmar. Mereka kini tinggal di bedeng-bedeng memprihatinkan di Bangladesh.