Rabu 25 Oct 2017 12:33 WIB

AS akan Sebut 'Pembersihan Etnis' untuk Krisis Rohingya

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
 Tentara Bangladesh menghadang masuk pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Palong Khali, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Tentara Bangladesh menghadang masuk pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Palong Khali, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden AS Donald Trump sedang mempersiapkan rekomendasi untuk Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson terkait krisis Rohingya. Rekomendasi ini akan mengizinkan Tillerson untuk secara tegas menggunakan istilah 'pembersihan etnis'.

Tillerson menerima rekomendasi untuk mengadopsi terminologi tersebut sejak awal pekan ini. Dia kemudian akan memutuskan apakah akan mengikuti saran dari pakar kebijakan dan pengacaranya, untuk mempertimbangkan sanksi baru terhadap Myanmar.

 

"Bos saya mengatakan, krisis ini tampaknya merupakan pembersihan etnis. Saya juga melihat hal itu," kata Patrick Murphy, diplomat senior AS untuk Asia Tenggara.

 

Dalam sidang Senat yang diselenggarakan pada Selasa (24/10), anggota parlemen menekan Murphy dan pejabat pemerintahan lainnya untuk segera menjelaskan pandangan mereka tentang tindakan brutal terhadap Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

 

Senator dari Partai Demokrat Tim Kaine termasuk di antara mereka yang menyerukan adanya istilah yang jelas akan krisis itu. Sementara Senator dari Partai Republik Bob Corker yang menjabat sebagai ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat, menekankan saat ini mungkin sudah waktunya Kongres melakukan penyesuaian kembali kebijakan.

 

Anggota parlemen lainnya di kedua majelis Kongres telah mengajukan hukuman baru yang akan diberikan AS terhadap militer Myanmar. Militer Myanmar yang memiliki kekuatan signifikan, telah disalahkan atas kekerasan tersebut.

 

Namun, para pejabat AS mengaku mempertimbangkan beberapa faktor untuk membuat kebijakan terhadap Myanmar. Mereka merasakan kekhawatiran akan keruntuhan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi selama 18 bulan terakhir ini.

 

Seorang pejabat AS, yang tidak berwenang untuk berbicara secara terbuka, mengatakan Departemen Luar Negeri tidak akan menyatakan apakah kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi di Myanmar. Pernyataan semacam itu akan lebih merugikan militer Myanmar, karena bisa memaksa AS untuk menuntut pertanggungjawaban hukum yang lebih keras.

 

Menurut Kantor Pencegahan Genosida PBB, 'pembersihan etnis' tidak diakui sebagai kejahatan independen berdasarkan hukum internasional, tidak seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dalam konteks konflik pada 1990-an di bekas wilayah Yugoslavia, PBB mendefinisikannya dengan 'kekerasan atau intimidasi yang digunakan di daerah yang secara etnik homogen, untuk menyingkirkan orang-orang dari kelompok-kelompok tertentu dari daerah tersebut.'

 

Namun demikian, Murphy menekankan penentuan pemakaian istilah 'pembersihan etnis' tidak akan mengubah upaya AS untuk mencapai akuntabilitas penuh. Masalah ini cukup sensitif, mengingat Presiden Trump akan melakukan lawatan resmi pertamanya ke Asia bulan depan dan belum membicarakan tentang krisis tersebut.

 

Murphy mengatakan, AS memiliki pengaruh terbatas terhadap militer Myanmar. Dia menjelaskan, sanksi yang luas dikhawatirkan akan melukai warga Myanmar yang rentan. Pejabat AS juga merasa resah jika menghukum Myanmar terlalu kuat dapat merusak pemerintahan Suu Kyi dan mendorong negaranya menjauh dari AS dan ke Cina.

 

AS telah lama direkomendasikan menggunakan istilah 'pembersihan etnis'. Sebelumnya, PBB dan sejumlah negara barat telah menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan krisis Rohingya.

 

Enam pekan lalu, kepala Dewan HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein mengatakan kekerasan di Rakhine merupakan contoh buku teks tentang pembersihan etnis. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menggemakan pendapat serupa.

 

Beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat dan Republik menginginkan tindakan yang lebih keras, seperti sanksi finansial terhadap pejabat militer Myanmar yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Pembatasan bisnis milik militer yang memiliki saham besar di perekonomian Myanmar juga mungkin dilakukan.

 

"Di sini kita memiliki contoh mengerikan dan kita sama sekali tidak memiliki suara, tidak ada tekanan," kata Senator dari Partai Demokrat Jeff Merkley, yang akan segera berangkat ke Myanmar.

 

Departemen Luar Negeri AS mengumumkan, unit dan petugas yang terlibat dalam operasi Rakhine tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan AS. AS juga membatalkan undangan pasukan keamanan senior Myanmar untuk menghadiri acara yang disponsori AS.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement