REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pemerintah Daerah Kurdistan (KRG) telah menawarkan untuk membekukan hasil referendum kemerdekaan yang disengketakan dan mulai berdialog dengan Baghdad. Dilansir dari BBC.com, Rabu (25/10), Pemerintah KRG mengusulkan sebuah gencatan senjata untuk mencegah kekerasan dan bentrokan lebih lanjut.
"Pertempuran terus berlanjut tidak mengarah pada kemenangan, tapi akan membawa negara ini ke arah kekacauan dan kekacauan," ujar pernyataan pemerintah KRG.
Pernyataan tersebut menambahkan serangan dan konfrontasi antara pasukan Irak dan Peshmerga yang dimulai pada 16 Oktober dapat menyebabkan pertumpahan darah terus-menerus. Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Irak menganggap kemerdekaan Kurdi ilegal dan telah meminta dialog untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi bulan lalu menuntut agar Pemerintah Daerah Kurdistan membatalkan hasil referendum tersebut. Dia mengatakan pemungutan suara merupakan ancaman bagi eksistensi damai antara rakyat Irak, dan merupakan bahaya bagi wilayah tersebut. Ia menambahkan akan memberlakukan peraturan Irak di wilayah tersebut.
Orang-orang yang tinggal di Irak utara memilih sangat mendukung kemerdekaan untuk Wilayah Kurdistan dalam referendum kemerdekaan. Komisi pemilihan mengatakan 92 persen dari 3,3 juta orang Kurdi dan non-Kurdi yang memberikan suara mereka mendukung pemisahan diri.
Pekan lalu pasukan Irak mengambilalih wilayah yang dikuasai Kurdi sejak 2014 dan mengatakan mereka telah menguasai semua wilayah di provinsi Kirkuk dari pejuang Kurdi Peshmerga.
Suku Kurdi adalah kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah namun mereka tidak pernah mendapatkan negara dengan status tetap. Di Irak, mereka membentuk sekitar 15-20 persen dari populasi 37 juta orang. Kurdi menghadapi penindasan selama bertahun-tahun sebelum memperoleh otonomi pada 1991
Pemungutan suara berlangsung di tiga provinsi yang membentuk kawasan tersebut, serta wilayah yang diperdebatkan yang diklaim oleh orang Kurdi dan pemerintah di Baghdad.