REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Hampir dua bulan setelah krisis Rohingya dimulai, hampir 600 ribu orang telah melarikan diri dari kekerasan yang dipimpin oleh militer dan masih banyak lagi pengungsi yang sedang dalam perjalanan.
Australia telah menjanjikan tambahan dana bantuan senilai 10 juta dolar AS (Rp 105 miliar). Namun, seorang perawat Australia penerima tanda jasa mengatakan tidak mungkin menghitung apa yang pada akhirnya sangat dibutuhkan. Ia menggambarkan situasi terkait pengungsi Rohingya merupakan yang terburuk yang pernah dia saksikan.
Situasi yang dihadapi pengungsi Rohingya mungkin telah terlewatkan begitu saja dari banyak pikiran orang Australia, namun Libby Bowell menghadapinya setiap hari. "Sejujurnya, ini adalah hal terburuk yang pernah saya lihat," katanya kepada ABC dari Bangladesh.
Perawat Australia dan pekerja Palang Merah ini berbicara dari pengalaman. Pada 2015, Libby Bowell dianugerahkan penghargaan kemanusiaan ‘Florence Nightingale’ atas karyanya mengenai krisis ebola di Afrika.
Menyaksikan siksaan di dalam kamp pengungsian
Hal yang mencengangkan bagi Libby Bowell dan banyak veteran bencana lainnya, adalah arus pengungsi Rohingya yang tak henti-hentinya datang dari Myanmar, yang tiba di situasi yang berdesak-desakan dan sulit di kamp pengungsian yang kelebihan kapasitas.
"Kami mendapatkan jeda sesaat tepat sebelum 15 ribu orang pengungsi datang [minggu lalu]," katanya.
"Saya benar-benar pergi ke perbatasan dan melihat-lihat, dan baru saja saya melihat cuplikan rekaman gambar yang sekarang beredar, dan hanya berpikir, oh Tuhan."
Libby Bowell menjelaskan dalam nada yang penuh emosi, sulitnya menyaksikan bayi dan orang tua yang sekarat karena haus akibat cuaca tropis yang panas. "Saya belum pernah melihat begitu banyak bayi kecil dan anak-anak serta wanita tua yang malnutrisi, dan wanita tanpa jiwa," katanya.
"Saya menyaksikan, hanya, kematian di belakang mata mereka, mungkin itulah yang sekarang menempel di benak saya saat ini, karena saya telah melihatnya lagi dan lagi, dan lagi dua hari yang lalu."
Masalah yang begitu banyak di kawasan yang kecil tampak begitu nyata. Sebuah upaya menggali sumur sebagai sumber air bersih sejauh ini telah menghasilkan pasokan yang tidak mencukupi, memperparah ketakutan terbesar lembaga donor, yakni merebaknya kolera.
PBB mendesak lebih banyak bantuan
Di Swiss, PBB dijadwalkan akan mengajukan permohonan tambahan bantuan yang bersifat mendesak. Michael Dunford, dari Program Pangan Dunia mengatakan karena jumlah orang yang membutuhkan bantuan masih meningkat, maka demikian juga dengan tuntutan bantuan.
"WFP telah memberi makan 5.080.000 pengungsi. Baru kemarin kami memberi makan 10.000 tambahan saat mereka melintasi perbatasan," katanya.
"Tapi kita masih akan menambahkan jumlah bantuan, kita masih harus menjangkau satu juta orang, kita mendapat dukungan kuat dari para donor kita tapi kita memerlukan tambahan 54 juta dolar AS agar kami bisa bertahan hingga akhir Februari jika kita bisa mencapai target kita."
WFP akan mendapatkan tambahan 10 juta dolar AS (Rp105 miliar) dana bantuan dari Australia yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop. "Dukungan Australia akan diberikan untuk menyediakan makanan, air bersih, tempat tinggal dan layanan kesehatan yang penting," demikian bunyi pernyataan dari kantor Menteri Luar Negeri Australia.
"Bantuan kami juga akan membantu merawat anak-anak karena kekurangan gizi, menciptakan area yang aman dan aman bagi perempuan yang rentan dan memberikan layanan kesehatan bagi ibu."
Badan amal lain yang diuntungkan adalah Oxfam, Save the Children and Care, yang juga menjalankan permohonan bantuan dari publik. Keduanya telah mengungkapkan keprihatinan khusus untuk wanita dan anak-anak.
Bangladesh menghadapi beban yang tak bisa ditanggung sendiri
Mat Tinkler dari Save the Children baru saja kembali dari Bangladesh, dan mengatakan penting juga untuk melihat melampaui hanya bantuan makanan dan tempat berlindung saja. Menurutnya, tantangannya adalah kekhawatiran yang bisa dimengerti di Bangladesh adalah bahwa salah satu negara termiskin di dunia menghadapi beban jangka panjang yang tidak dapat mereka tanggung sendiri.
"Kita perlu belajar dari tempat-tempat seperti Yordania, Lebanon dan Turki yang telah menjadi tuan rumah bagi populasi pengungsi yang cukup banyak yang melarikan diri dari Suriah selama bertahun-tahun," katanya.
"Dalam skenario itu, mungkin kita terlalu lama untuk membuat respons jangka menengah dan jangka panjang terhadap krisis ini, dan kita perlu memastikan kita tidak membuat kesalahan yang sama di sini," kata Tinkler.
Dengan krisis yang belum terlihat tanda-tanda akan berakhir, Libby Bowel dari Palang Merah Australia sepakat dengan pandangan tersebut. "Saya berharap bisa mengatakan saya dapat melihatnya membaik," katanya.
"Tapi ketika kita masih memiliki ratusan ribu pengungsi [Rohingya] di sisi lain perbatasan, kondisi itu masih jauh (dari akan membaik)."
Pekan ini akan menandai dua bulan sejak 25 Agustus, saat serangan gerilyawan Rohingya ke pos keamanan telah memicu serangan balik yang kejam oleh tentara Myanmar.
Ada tuduhan militer membiarkan warga Rohingya yang tersisa kelaparan dengan mengepung desa mereka. Tapi apa yang terjadi di dalam wilayah Rakhine sangat sulit dipastikan karena Myanmar terus menolak seruan memperbaiki akses kemanusiaan.
Tragedi Rohingya, AS Pertimbangkan Sanksi Terhadap Myanmar
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.