REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pangeran mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), telah berjanji untuk mengembalikan negara tersebut ke Islam moderat. Ia meminta dukungan global untuk mengubah pemahaman konservatif yang ada di Arab Saudi menjadi masyarakat terbuka yang memberdayakan warga negara dan menarik investor.
Dalam sebuah wawancara dengan the Guardian, Selasa (24/10), pewaris tahta Saudi ini mengatakan negara Arab Saudi sangat konservatif selama 30 tahun terakhir. Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir ini, kata Salman, bukanlah Arab Saudi. Apa yang terjadi di wilayah ini dalam 30 tahun terakhir bukanlah Timur Tengah. Setelah revolusi Iran pada 1979, orang ingin menyalin model ini ke berbagai negara, salah satunya adalah Arab Saudi.
"Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya. Dan masalahnya tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya," kata dia.
Sebelumnya Salman pernah mengatakan, "Kami hanyalah kembali pada prinsip yang selama ini kami ikuti -yaitu Islam moderat terbuka terhadap dunia dan semua agama. Sebanyak 70 persen orang Saudi berusia di bawah 30 tahun. Jujur saja, kita tidak akan menyia-nyiakan 30 tahun yang ada hanya untuk melawan pemikiran ekstremis. Pemikiran ekstremis harus dihancurkan segera, sekarang juga."
Komentar putra mahkota ini merupakan komentar yang paling tegas yang dia buat selama program reformasi selama enam bulan. Reformasi ini terkait reformasi budaya dan insentif ekonomi yang tak terbayangkan selama beberapa dekade terakhir. Apalagi selama ini Kerajaan Saudi telah dituduh mempromosikan Islam yang melindungi ekstremisme.
Pernyataan ini ia sampaikan untuk mengkonsolidasikan wewenangnya dan meminggrikan para ulama selama ini dinilai tidak mendukungnya. Pernyataan ini juga menguji kesetiaan dari pejabat senior yang telah dipercayakannya untuk mendorong program reformasi 15 tahun yang bertujuan merombak sebagian besar aspek kehidupan di Arab Saudi.
Inti reformasi, kata Salman, telah menjadi terobosan persekutuan antara ulama garis keras yang telah lama mendefinisikan karakter nasional dan House of Saud, yang telah menjalankan urusan negara. "Perubahan tersebut telah mengatasi masalah tabu sosial seperti larangan mengemudi wanita yang baru-baru ini dibatalkan, serta mengurangi cakupan undang-undang perwalian yang membatasi peran perempuan dan mendirikan sebuah pusat Islam yang bertugas untuk mengesahkan ucapan-ucapan Nabi Muhammad," katanya.
Skala dan ruang lingkup reformasi belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern negara ini. Muncul kekhawatiran jika basis yang sangat konservatif akan menentang langkah reformasi ini yang sebetulnya dapat dikatakan sebagai revolusi budaya. Kekhawatiran lainnya adalah kerajaan tidak memiliki kapasitas untuk menindaklanjuti ambisi ekonomi MBS.
Pangeran juga mengumumkan peluncuran zona ekonomi independen senilai 440 miliar dolar AS di Arab Saudi, Yordania dan Mesir. Zona ekonomi ini akan didirikan di 470km pantai Laut Merah, di daerah wisata yang mirip dengan Dubai, tempat pria dan wanita bebas untuk berbaur.
"Kami adalah negara G-20. Salah satu ekonomi dunia terbesar. Kami berada di tengah tiga benua. Mengubah Arab Saudi menjadi sarana yang lebih baik untuk membantu kawasan ini dan mengubah dunia. Jadi inilah yang coba kita lakukan di sini. Dan kami berharap mendapat dukungan dari semua orang," tambah Salman.
Reformasi ini sebagai upaya untuk mengubah kerajaan dari ketergantungan pada minyak dan membawanya ke dalam ekonomi terbuka yang beragam. Namun kendala yang dihadapi yaitu belum adanya transformasi sosial dari masyarakat Arab Saudi. Termasuk peraturan yang memperlambat pembangunan ekonomi.
Salman berulang kali menegaskan tanpa membuat kontrak sosial baru antara warga negara dan negara, rehabilitasi ekonomi akan gagal. "Ini tentang memberi anak-anak kehidupan sosial. Hiburan perlu menjadi pilihan bagi mereka. Mereka bosan dan marah. Seorang wanita harus bisa mendorong dirinya untuk bekerja," kata seorang tokoh kerajaan senior Saudi.
Dalam 10 tahun ke depan, setidaknya lima juta orang Saudi akan memasuki dunia kerja. Hal ini menimbulkan masalah besar bagi pejabat untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Zona ekonomi akan selesai pada 2025 atau lima tahun sebelum arus program reformasi.
(Editor: Yeyen Rostiyani).