REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Pengungsi Rohingya, Amir Mia yang berusia 18 tahun membawa mayat kakeknya melalui kamp ekspansi Balukhali di kota pelabuhan Cox's Bazar di Bangladesh. Kakeknya akan dimakamkan di sebuah kuburan yang dibuat setelah masuknya pengungsi Rohingya baru-baru ini.
Untuk menuju tempat pemakaman Amir harus menerobos jalan sempit dan berlumpur. "Dia sudah tua dan meninggal karena penyakit terkait usia," kata Mia seperti dilansir Aljazirah, Rabu (25/10).
Karena gelombang pengungsi Rohingya telah berada di Bangladesh selama beberapa dekade terakhir. Mereka akhirnya menguburkan orang-orang yang telah meninggal dengan membuat sendiri area pemakaman di tempat yang memungkinkan. Tanpa lahan yang disisihkan untuk pemakaman oleh pemerintah Bangladesh, para pengungsi telah mengidentifikasi situs mereka sendiri.
Kuburan kecil, tempat Amir sedang mengubur kakeknya sudah terlihat penuh sesak. Kuburan terlihat begitu rapat, hanya pagar bambu yang memisahkan satu dari yang lain.
Di kamp yang terdaftar di Kutupalong, Mohammad Alam, 16 tahun, yang lahir di Bangladesh setelah orang tuanya meninggalkan Myanmar pada 1990-an, menjelaskan bahwa ayahnya adalah pemimpin satu blok kamp. Seorang penggali kubur yang bertanggung jawab untuk menggali kuburan penghuni bloknya.
Ia menjelaskan, pemakaman sudah penuh dengan tiga atau empat mayat ditempatkan di satu kuburan setelah masuknya pengungsi baru-baru ini. "Tidak seperti kehidupan, kematian adalah kebenaran yang tak terelakkan dan di sini tidak ada yang bisa dikubur dengan damai karena kita harus menggali kuburan tua untuk menghasilkan yang baru," kata Mohammad.
Dia telah melihat orang-orang menguburkan mayat di depan rumah mereka. Menurutnya, para pengungsi baru tidak tahu tentang tempat pemakaman ini. Mereka tidak tahu ke mana harus memakamkan keluarga yang meninggal. Ia mengaku melihat sebuah keluarga mengubur mayat di samping rumah mereka yang baru dibangun.
"Beberapa hari kemudian, hujan telah membasuh tanda kuburan dan lebih banyak pengungsi baru datang dan membangun tenda mereka di atas kuburan itu," tambahnya.
Nur Hossain yang berusia 52 tahun telah tinggal di kamp yang terdaftar di Kutupalong selama 26 tahun terakhir. Dia adalah seorang petani di Myanmar, tapi di Bangladesh dia bekerja di sebuah pabrik sup di kamp dan sebagai penggali kubur. Ia mengaku telah menggali satu kuburan sebanyak empat kali. "Saya menggali satu kuburan lebih dari empat kali untuk dimakamkan. Salah satu kuburan tertua kita sekarang adalah kebun seseorang," katanya.
Dia datang ke sini pada awal 1990-an, bersama istri dan tiga anaknya. Ia mengatakan tentara Myanmar membunuh saudaranya Komol Hossain di awal tahun 1990-an. Tentara membawanya untuk dijadikan budak dan dua bulan kemudian, ia diberitahu bahwa saudaranya telah meninggal. "Kami tidak tahu bagaimana dia meninggal," kata Nur.
Baca juga, Tentara Myanmar Perkosa Gadis Rohingya.
Di Bangladesh ia mengaku hidup seperti tahanan. Ia dapat menjalani hidup dengan bebas tapi tidak diijinkan untuk bekerja di luar kamp. Bahkan setelah kematian, ia mengaku tidak memiliki tempat yang spesifik untuk dikuburkan.
Nazu Mia datang ke Bangladesh saat dia masih remaja. Dia sekarang berusia awal 40-an. "Hidup saya dihabiskan di sebuah penjara yakni kamp pengungsi. Saya akan berada di sini sampai kematian saya dan saya tidak tahu kuburan siapa yang akan saya tempatkan nanti," kata penggali kubur yang tinggal di kamp terdaftar di Kutupalong.
Ia mengatakan saat ini mayat dimakamkan di kuburan tua yang dialokasikan untuk pengungsi tahun 80-an. Di semua kuburan, lebih dari tiga mayat dikuburkan. Bahkan sekarang situasinya lebih buruk, orang-orang hidup di atas kuburan baru.
"Kami ditanya apakah kami membutuhkan makanan, tempat tinggal dan bantuan kesehatan tapi tidak ada yang bertanya apakah kami membutuhkan tempat yang lebih besar untuk pemakaman atau jika perlu memperluas lahan yang sudah tua. Bahkan tempat yang telah dialokasikan untuk pengungsi baru sangat kecil. Di masa depan, kita bisa mengubur lebih dari 10 mayat dalam satu kuburan," katanya.