REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi dijadwalkan bertemu dengan para pemimpin Iran untuk melakukan pembicaraan mengenai keamanan regional, termasuk masa depan Kurdistan Irak dan peran milisi Syiah yang didukung Teheran di negaranya.
Dilansir dari Aljazirah, Kamis (26/10), pertemuan Abadi dengan Presiden Iran Hassan Rouhani menandai kunjungan keduanya ke Teheran dalam empat bulan. Hal ini menyoroti upaya Abadi mengumpulkan dukungan bagi pemerintah pusat di Baghdad.
Tidak ada konfirmasi apakah Abadi juga akan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, meskipun analis mengatakan kemungkinan itu akan terjadi.
Kunjungan ke Iran dilakukan setelah Abadi ke Turki bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Binali Yildirim. Di Turki, para pemimpin menegaskan kembali pendirian mereka melawan kemerdekaan Kurdi.
Sebelumnya pada Rabu, Pemerintah Daerah Kurdistan (KRG) mengusulkan membekukan hasil referendum, dan membuka pembicaraan dengan Baghdad. KRG juga menyerukan gencatan senjata dan penghentian operasi militer di Kurdistan.
Usulan KRG hanya dilakukan beberapa hari setelah pasukan Irak menguasai Kirkuk dengan dukungan milisi Syiah, Unit Mobilisasi Populer. Pemerintah pusat dan Turki menolak usulan KRG. Mereka menuntut pembatalan hasil referendum secara langsung.
Perjalanan Abadi ke Iran pada Kamis dipandang sebagai upaya terus-menerus untuk mendukung seruan Baghdad agar Irak bersatu.Pakar Timur Tengah yang berdomisili di Doha dan lulusan Universitas Teheran, Mahjoob Zweiri mengaku mengharapkanlebih banyak kerja sama militer antara Irak dan Iran, setelah kunjungan Abadi.
"Ada hubungan bilateral yang sangat kuat antara Baghdad dan Teheran sejak 2003," katanya.
Zweiri mengutip peran Iran dalam upaya Irak untuk mengalahkan dan mengusir Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari Mosul dan bagian-bagian lain Irak. Unit Mobilisasi Populer yang didukung oleh Teheran bertempur di samping pasukan Irak dalam memerangi ISIS.
Advertisement