REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Facebook berkomitmen untuk terbuka dan lebih transparan atas iklan iklan politik. Hal ini sejalan dengan anjuran internasional atas penolakan kampanye hitam atas nama politik yang santer terjadi di laman Facebook.
Wakil Presiden Iklan Facebook Rob Goldman menjelaskan, kedepan iklan-iklan berbau politik dan ajakan atas kelompok tertentu akan disertakan siapa dan darimana iklan tersebut dibiayai. Hal ini selain untuk mendukung demokrasi dalam berpolitik, Facebook berkomitmen untuk lebih transparan sehingga menekan angka berita bohong atau hoaks yang kerap digunakan oleh para oknum.
Nantinya kata Rob, Facebook akan menyertakan 'Iklan Ini Dibiayai oleh' pada setiap akhir iklan yang ditayangkan oleh Facebook. Hal ini dinilai Rob bisa menjadi pilihan bagi netizen untuk cerdas dalam berselancar internet dan tak mudah termakan hasutan.
"Ketika beriklan di Facebook, orang harus bisa memberi tahu siapa pengiklan dan melihat iklan yang mereka jalankan, terutama untuk iklan politik," kata Rob seperti dilansir dari Reuters, Sabtu (28/10).
Berkaca pada kasus Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu, pecah belah dan perseturuan antar masyarakat tak bisa dielakan. Rob mengaku Facebook sebelumnya kerap dijadikan alat untuk melakukan kampanye hitam. Tak sedikit dari para netizen yang membuka akun palsu hanya untuk melakukan kampanye hitam sehingga memecah belah persatuan.
Belum lagi, berkaca pada tahun politik disetiap negara tak jarang kampanye politik dilakukan di laman media sosial baik Facebook, Twitter maupun Youtube. Model kampanye politik era saat ini yang lebih banyak menggunakan jaringan internet dinilai lebih murah dan masif. Namun, Facebook tak ingin kampanye yang bertujuan untuk demokrasi malah berpotensi memecah belah masyarakat dan memunculkan permusuhan.
Sebelumnya, Selasa (24/10) Twitter mengatakan akan menambahkan label pada iklan terkait pemilu dan mengatakan siapa yang berada di belakang masing-masing, setelah sebuah ancaman peraturan dari A.S. karena kurangnya pengungkapan untuk pengeluaran politik di media sosial.
Twitter juga menuduh dua media Rusia mencampuri pemilihan A.S. pada 2016 dan melarang mereka untuk membeli iklan di jaringannya, setelah kritik itu tidak cukup dilakukan untuk mencegah campur tangan internasional.