Sabtu 28 Oct 2017 17:32 WIB

Balada Alat Kontrasepsi di Pengungsian Rohingya

Rep: Marniati/ Red: Joko Sadewo
Seorang wanita pengungsi Rohingya menggendong anaknya di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Seorang wanita pengungsi Rohingya menggendong anaknya di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Bangladesh berencana untuk memperkenalkan alat kontrasepsi di kamp pengungsi Rohingya untuk mengendalikan angka kelahiran. Ini dikarenakan jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh yang sudah mencapai 600 ribu lebih.

Pintu Kanti Bhattacharjee, yang memimpin dinas keluarga berencana di distrik Cox's Bazar dimana kamp-kamp tersebut berada, mengatakan hanya ada sedikit kesadaran akan pengendalian kelahiran di kalangan orang Rohingya.

"Seluruh masyarakat telah ditinggalkan dengan sengaja dengan alasan kurangnya pendidikan di Myanmar, di mana Rohingya dipandang sebagai imigran ilegal dan menolak akses ke banyak layanan," katanya seperti dilansir The Guardian, Sabtu (28/10).

Bhattacharjee mengatakan keluarga besar adalah hal yang biasa di kamp-kamp, di mana beberapa orang tua memiliki 19 anak dan banyak pria Rohingya memiliki lebih dari satu istri.

Otoritas KB berencana meluncurkan kontrasepsi, namun sejauh ini mereka hanya berhasil mendistribusikan 549 paket kondom di antara para pengungsi, yang enggan menggunakannya.

Mereka telah meminta pemerintah agar menyetujui sebuah rencana untuk melakukan vasektomi bagi pria dan tubektomi untuk wanita Rohingya. Namun, menurut Bhattacharjee hal ini akan menjadi perjuangan berat bagi otoritas KB untuk mewujudkannya.

Banyak pengungsi mengatakan kepada AFP bahwa mereka percaya sebuah keluarga besar akan membantu bertahan di kamp-kamp, dimana akses terhadap makanan dan air menjadi perjuangan sehari-hari. Anak-anak sering dikirim untuk mengambil dan membawa persediaan.

Sementara yang lainnya mengatakan kontrasepsi bertentangan dengan ajaran Islam.

Farhana Sultana, sukarelawan keluarga berencana yang bekerja dengan pengungsi Rohingya di kamp-kamp tersebut, mengatakan banyak wanita yang percaya bahwa pengendalian kelahiran adalah dosa.

"Di Rakhine mereka tidak pergi ke klinik keluarga berencana, karena khawatir pemerintah Myanmar akan memberi obat yang merugikan mereka atau anak-anak mereka," kata Sultana.

Relawan mengatakan mereka berjuang untuk menyampaikan manfaat keluarga berencana kepada wanita Rohingya.

Sabura, ibu tujuh anak, mengatakan suaminya yakin bahwa mereka dapat menjalani kehidupan sebagai keluarga besar.

"Saya berbicara dengan suami saya tentang tindakan pengendalian kelahiran. Tapi dia tidak yakin. Dia diberi dua kondom tapi dia tidak menggunakannya, "katanya.

Sabura mengatakan ia dan suami membutuhkan lebih banyak anak karena mereka memiliki tanah dan properti di Rakhine. "Kita tidak perlu khawatir memberi makan mereka, "katanya.

Bangladesh telah bertahun-tahun menjalankan program sterilisasi domestik yang sukses dengan menawarkan 28 dolar AS dan garmen lungi tradisional kepada setiap orang yang setuju untuk menjalani prosedur ini.

Setiap bulan 250 orang menjalani sterilisasi di kota perbatasan Cox's Bazar.

Sebelumnya diberitakan lebih dari 600 ribu orang Rohingya telah tiba di Bangladesh sejak sebuah tindakan militer Myanmar pada Agustus yang memicu eksodus.

Sebagian besar pengungsi hidup dalam kondisi putus asa karena keterbatasan akses terhadap makanan, sanitasi atau fasilitas kesehatan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement