Ahad 29 Oct 2017 15:33 WIB

Pupusnya Pariwisata Myanmar di Tengah Krisis Rohingya

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Kuil Taung Kalat di Myanmar
Foto: Amusing Planet
Kuil Taung Kalat di Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Beberapa tahun lalu, Beyonce dan Jay-Z memasang foto sedang berpose di antara kuil-kuil terkenal di Myanmar. Kehadiran kedua selebriti dunia itu sebagai wisatawan tentu semakin menggembar-gemborkan Myanmar sebagai salah satu tujuan wisata terbaik.

Namun impian itu pupus saat muncul berita mengenai desa yang terbakar dan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan tentara di Rakhine. Insiden ini sangat mengejutkan dunia dan memicu kemarahan atas besarnya skala penderitaan manusia yang terjadi di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh.

 

Sejak pertumpahan darah meletus pada akhir Agustus lalu, agen wisata telah menerima serangkaian pembatalan perjalanan. Ketakutan menghantui industri pariwisata yang tengah bersiap menghadapi musim puncak mulai Oktober ini.

 

"Hampir semua perjalanan yang dijadwalkan pada Oktober dan November ini dibatalkan karena ketidakstabilan di negara ini, karena situasi di Negara Bagian Rakhine," kata Tun Tun Naing dari New Fantastic Asia Travels and Tour, dikutip Strait Times.

 

"Sebagian besar wisatawan di Jepang, Australia, dan negara-negara Asia lainnya menyebutkan alasan keamanan. Sementara beberapa wisatawan Eropa dengan jelas mengatakan mereka memboikot perjalanan ke Myanmar karena situasi kemanusiaan," ungkapnya.

 

Di Yangon, kota yang ramai dan terkenal dengan arsitektur kolonialnya, beberapa turis asing masih terlihat mengunjungi Pagoda Shwedagon yang disepuh emas. Mereka mengakui krisis yang sedang berlangsung membuat liburan mereka menjadi lebih canggung.

 

"Sangat menyedihkan melihat negara ini. Pemandu kami mengatakan kepada kami, Muslim itu berbahaya dan mereka bukan orang Burma," kata turis asal Prancis, Christine yang menolak memberikan nama keluarganya.

 

Ada kekhawatiran krisis Rohingya dapat membawa sektor pariwisata Myanmar kembali ke masa kegelapan seperti saat berada di bawah pemerintahan militer. Semua diketahui mulai berubah setelah tentara memulai transisi menuju demokrasi parsial pada 2011.

 

Semester pertama 2017, jumlah pengunjung di Myanmar mengalami kenaikan sebesar 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kementerian Pariwisata Myanmar berharap dapat melipatgandakan jumlah kunjungan tahunan menjadi 7,5 juta orang pada 2020.

 

Myanmar Panen Padi di Sawah yang Ditinggalkan Warga Rohingya

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement