Rabu 01 Nov 2017 14:30 WIB

Doa Bersama Digelar untuk Kedamaian Myanmar

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Pria Rohingya Abdul Kareem berjalan menuju kamp pengungsi menggendong ibunya Alima Khatoon setelah menyeberang dari Myanmar menuju Bangladesh, di Teknaf, Bangladesh, (16/9).
Foto: AP
Pria Rohingya Abdul Kareem berjalan menuju kamp pengungsi menggendong ibunya Alima Khatoon setelah menyeberang dari Myanmar menuju Bangladesh, di Teknaf, Bangladesh, (16/9).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Taman Maha Bandoola di Kota Yangon dipenuhi orang-orang pada Selasa (31/10) sore. Ada yang sekedar menikmati lahan hijau, tempat melepaskan penat dari kebisingan dan kekacauan di pusat kota Yangon.

Namun, ada juga yang datang ke taman untuk menghadiri sebuah acara doa antar umat beragama yang diselenggarakan oleh partai yang berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang diadakan di luar gedung Balai Kota di seberang jalan. Acara tersebut bertemakan "Peace in Myanmar - Ceremony for Inter-Faith Prayers."

Juru bicara NLD, Nyan Win mengatakan, acara doa bersama ini diadakan agar orang dapat berdoa untuk perdamaian di Myanmar. Selain itu, acara doa bersama untuk menunjukkan bahwa Myanmar adalah masyarakat multi-agama dan beragam. Para biksu dan imam, duduk bersama. Politisi, pegawai negeri, dan tokoh masyarakat juga ikut.

Para pemimpin agama naik ke panggung untuk memimpin doa bersama dan menyampaikan khotbahnya. Mereka menyampaikan pentingnya keharmonisan dan melakukan tindakan yang benar.

"Ini adalah apa yang harus dilakukan oleh warga yang baik. Acara ini dapat membantu kita mencapai persatuan. Penting untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang-orang dari agama lain sehingga kita bisa menjalin hubungan baik dengan mereka," kata Seorang penduduk Yangon, Khin Marlar Htwe.

Seorang pengacara, Sann Aung mengatakan dia menyambut baik kegiatan doa bersama ini daripada melakukan kegiatan yang hanya menyerang orang-orang seperti kelompok nasionalis garis keras di Myanmar,

Demonstrasi pro-militer baru-baru ini diadakan di seluruh negeri yang telah mengkritik pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Mereka juga menggambarkan komunitas Rohingya di Rakhine sebagai kelompok ekstremis yang berniat menciptakan sebuah negara Islam.

Namun dalam acara doa bersama ini, tidak ada yang menyinggung Muslim Rohingya. Wartawan lokal yang menulis tentang tindakan keras militer di Rakhine umengaku telah menerima ucapan kebencian dan ancaman dari nasionalis.

Kritikus menilai kegiatan doa antar umat beragama ini tidak lebih dari latihan hubungan masyarakat.

Acara doa bersama ini adalah yang terakhir dalam serangkaian acara yang diadakan enam pekan setelah sekelompok milisi menyerang pos perbatasan dan sebuah pangkalan militer pada 25 Agustus, menewaskan 12 petugas keamanan dan memprovokasi tindakan keras oleh militer Myanmar.

Sejak saat itu, ratusan warga sipil Rohingya dibunuh oleh aparat keamanan, perempuan dan anak perempuan diperkosa, dan desa-desa dibakar.

Lebih dari 600 ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, menyebabkan krisis pengungsi paling mendesak di dunia. Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggambarkan situasinya sebagai pembersihan etnis. Pemerintah Myanmar menyalahkan informasi yang salah karena mendistorsi krisis.

Pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh telah memberi kesaksian terkait pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran yang terjadi, Pemerintah Myanmar dan militer membantah tuduhan tersebut. Mereka mengklaim serangan menargetkan Arakan Rohingya Salvation Army.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement