REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arab Saudi dinilai mulai menerapkan sistem 'good governance' di pemerintahnnya dengan pembentukan komite anti-korupsi yang dipimpin putra mahkota Mohammed bin Salman. Pengamat Internasional Universitas Padjajaran Bandung, Teuku Rezasyah mengatakan selama ini sistem di Arab Saudi terkenal begitu sentralistik. Karena semua hal dikelola oleh raja dan dengan manajemen standar Arab Saudi.
"Cuman seringkali kita ketahui kerajaan Arab Saudi harus berhadapan dengan nilai-nilai modern yang sebenarnya nilai-nilai filsafatnya ada dalam Islam. Tapi selama ini tidak sempat mereka turunkan peringkatnya dari level ayat menjadi level kebijakan dan turun lagi ke level strategi dan operasi," kata Teuke Rezasyah saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (5/11).
Ia menjelaskan, selama ini pejabat kerajaan Arab Saudi begitu terlena karena tidak ada lembaga negara yang mengaudit sistem keuangan negara. Dengan berkurangnya transaksi minyak, maka Arab Saudi merasa penting melakukan pembenahan cara pengelolaan keuangan negara untuk mendapatkan kembali investasi di bidang ekonomi.
Menurutnya, reformasi yang dilakukan putra mahkota ini menjadi momentum yang pas bagi Arab Saudi untuk menyesuaikan diri dengan manajemen dunia yang berbasis tata kelola yang baik. Arab Saudi menurut dia, juga harus menyadari jika tidak melakukan reformasi maka reputasi kerajaan akan semakin turun di mata masyarakatnya.
"Karena selama ini terkesan sentralistik. Akibatnya yang tahu hanya kalangan kerajaan. Karena kalangan kerajaan intriknya sangat tinggi. Harapan saya Saudi mampu menterjemahkan ayat-ayat suci ke dalam manajemen pembangunan nasional kemudian yang sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen modern," katanya.
Ia mengatakan, langkah yang ditempuh putra mahkota ini mungkin saja mengagetkan masyarakat Saudi. Mohammaed bin Salman akan melihat respon dari dalam dan luar negeri untuk menentukan gebrakan selanjutnya.
(Baca: Saudi Tangkap 11 Pangeran Setelah Bentuk Komite Anti-Korupsi)