Senin 06 Nov 2017 00:58 WIB

Peringati Ambilalih Kedubes AS 1979, Iran Pamerkan Rudal

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Elba Damhuri
 peluncuran rudal jarak jauh Iran.
Foto: IRNA
peluncuran rudal jarak jauh Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Ribuan warga Iran berkumpul untuk melakukan long march memperingati pengambilalihan Kedutaan Besar AS pada 1979, yang merupakan sebuah peristiwa penting dalam Revolusi Islam. Dalam perayaan yang diselenggarakan pada Sabtu (4/11) ini, sebuah rudal balistik turut dipamerkan.

Kantor berita Tasnim melaporkan, rudal balistik Ghadr dengan jarak tempuh 2.000 km itu dipamerkan di dekat bekas gedung Kedubes AS di Teheran. Saat ini gedung tersebut telah menjadi pusat kebudayaan Iran.

Perayaan yang lebih besar dilakukan Iran tahun ini ketika AS berada di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump, dibandingkan dengan saat AS dipimpin oleh Barack Obama. Sejumlah demonstran membakar patung Trump dan membawa spanduk dengan tulisan "Kematian untuk Amerika".

"Semua pemerintahan menyadari presiden Amerika adalah orang gila yang membawa orang lain untuk bunuh diri. Kebijakan Trump terhadap rakyat Iran telah membawa mereka turun jalan-jalan hari ini," kata Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.

Bulan lalu, Trump menolak untuk mengesahkan kembali kepatuhan Iran terhadap kesepakatan nuklir 2015, yang ditandatangani oleh sekutu Eropanya, Rusia, dan Cina. Berdasarkan kesepakatan itu, sebagian besar sanksi internasional terhadap Iran dicabut. Sebagai imbalannya, Teheran akan membatasi aktivitas nuklir mereka yang berisiko berkembang menjadi bom atom.

Iran telah menegaskan kembali komitmennya terhadap kesepakatan tersebut. PBB juga memverifikasi bahwa Teheran telah mematuhi persyaratannya. Namun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei justru mengancam akan menghancurkan kesepakatan itu jika AS memutuskan untuk keluar.

Pihak lain dalam kesepakatan nuklir Iran, yaitu Rusia, Cina, Inggris, Prancis, dan Jerman, telah menyuarakan kegelisahan atas penolakan Trump. Mereka khawatir hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan baru di Timur Tengah.

Pejabat senior Iran berulang kali mengatakan, program rudal Iran bersifat defensif dan tidak dapat dinegosiasikan. "Anggapan Amerika bahwa Iran akan mengesampingkan kekuatan militernya, adalah mimpi yang kekanak-kanakan," kata Brigadir Jenderal Hossein Salami, wakil kepala Garda Revolusi Iran yang mengawasi pembangunan rudal.

Iran dan AS memutuskan hubungan diplomatik setelah revolusi 1979. Mahasiswa garis keras Iran berhasil merebut gedung Kedubes AS dan menyandera 52 warga AS selama 444 hari.

Ketegangan antara AS dan Iran telah semakin meningkat saat Tehran memperbaiki hubungan politik dan militer dengan Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengunjungi Teheran pada Rabu (1/11) lalu.

Khamenei mengatakan kepadanya, Teheran dan Moskow harus meningkatkan kerja sama guna mengisolasi AS dan membantu meredakan konflik di Timur Tengah. Iran dan Rusia tengah sama-sama berjuang di sisi Presiden Suriah Bashar al Assad untuk melawan pemberontak yang didukung AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement