REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fira Nursya'bani
Penutupan jalur masuk darat, laut, dan udara Yaman oleh Arab Saudi dirasakan sebagai hukuman kolektif oleh warga. Menurut mereka, tindakan penghukuman kolektif berbahaya karena akan berisiko terhadap jutaan warga sipil dan memperburuk keadaan negara. Menurut Program Pangan Dunia PBB, Yaman mengimpor lebih dari 85 persen makanan dan obat-obatan melalui laut sebelum dimulainya perang.
Khaled Abdallah, seorang warga Sanaa berusia 24 tahun, mengatakan kepada //Aljazirah//, keputusan Riyadh tersebut merupakan sebuah taktik intimidasi. Menurutnya, keputusan ini akan gagal dilakukan untuk melawan Houthi, yang telah mengendalikan Sanaa.
"Arab Saudi ingin melihat kami turun ke jalan-jalan untuk memprotes Houthi. Meskipun ini mungkin akan terjadi seiring berjalannya waktu, mereka lupa mereka adalah orang-orang yang telah meneror kami selama 24 jam terakhir, menjatuhkan bom di jam-jam paling gelap di malam hari," kata Abdallah.
"Arab Saudi tidak peduli dengan orang-orang Yaman. Mereka hanya bermain politik dengan kehidupan orang-orang yang tidak bersalah. Jika mereka peduli, mereka tidak akan membuat pengumuman yang tidak perlu dan berbahaya ini. Orang-orang Yaman sekarang secara kolektif telah dihukum karena tindakan beberapa militan Houthi," ujarnya menambahkan.
Penutupan jalur masuk ke Yaman dapat membatasi akses pengiriman bantuan kemanusiaan ke negara paling miskin di dunia Arab itu. Yaman telah hancur oleh konflik yang telah terjadi selama lebih dari dua tahun.
Dokter Lintas Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF) mengatakan, penutupan ini telah membatalkan pengiriman bantuan kemanusiaan dari Djibouti ke Sanaa pada Senin (5/11).
"Akses untuk penerbangan kemanusiaan ke Yaman sangat penting untuk operasi medis kami, dan juga untuk organisasi lain yang bekerja demi penduduk Yaman. Kami akan terus mengejar izin untuk penerbangan besok," ujar Kepala Misi MSF di Yaman, Ghassan Abou Chaar.
Arab Saudi, yang saat ini memimpin koalisi negara-negara Arab Suni dalam konflik Yaman, mengatakan pihaknya segera menutup akses ke semua jalur masuk ke Yaman setelah pemberontak Houthi menembakkan sebuah rudal balistik ke ibu kota Arab Saudi, Riyadh.
"Untuk menghadapi situasi yang rentan ini, telah diputuskan untuk sementara semua pintu masuk darat, udara, dan laut Yaman ditutup," ujar koalisi tersebut.
Beberapa jam setelah rudal berhasil dicegat, Arab Saudi meluncurkan serangkaian serangan udara di ibu kota Yaman, Sanaa. Serangan ini menargetkan istana kepresidenan, markas keamanan nasional, dan gedung kementerian dalam negeri yang dikuasai Houthi.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan melalui kantor berita Saudi Press Agency atau SPA, koalisi itu juga mendesak warga Yaman dan kelompok kemanusiaan untuk menghindari daerah-daerah operasi militer dan daerah-daerah yang dikuasai oleh Houthi.
Mereka juga harus menjauhi jalur-jalur masuk yang telah dieksploitasi oleh milisi yang didukung Iran ini untuk menyelundupkan senjata, serta daerah-daerah tempat milisi ini melancarkan serangannya terhadap Arab Saudi.
Maskapai penerbangan nasional Yaman, Yemenia, yang dimiliki bersama dengan Arab Saudi, mengatakan mereka tidak akan menyediakan penerbangan lagi dari Aden dan Seiyoun di Yaman selatan, yang berada di bawah kendali koalisi.
"Setiap penduduk Yaman sekarang akan menderita. Orang-orang miskin akan menjadi pihak yang paling menderita. Mereka yang memiliki penyakit kronis, tidak akan mendapatkan obat, dan akan menjadi korban terburuk," ujar Habib al-Maqtari, penduduk Kota Taiz yang dikuasai Houthi.
"Dan, dengan mata uang yang terus anjlok, serta tidak adanya bahan pokok, yang akan terjadi adalah lonjakan harga," kata dia.
Ia mengatakan, sebagian besar supermarket dan toko telah tutup. Sebelum perang, ia biasa menghabiskan biaya 45 dolar AS untuk belanja mingguan, tapi sekarang ia harus menghabiskan 180 dolar AS.
Menurut PBB, lebih dari 80 persen dari 28 juta penduduk Yaman membutuhkan bantuan darurat. Setengah juta anak di bawah usia lima tahun sangat kekurangan gizi, dan sedikitnya 2.135 orang telah meninggal dunia karena kolera dalam enam bulan terakhir.