REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Myanmar menilai pernyataan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tentang krisis Rohingya dapat mengganggu jalannya perundingan dengan Bangladesh. Kedua negara itu tengah merundingkan proses pemulangan 600 ribu warga Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Senin (6/11), DK PBB mendesak Myanmar untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer secara berlebihan. DK PBB juga menyatakan keprihatinan serius atas laporan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekerasan di Rakhine
Pemimpin de facto Myanmar Aung Sang Suu Kyi, yang pemerintahan sipilnya baru berjalan kurang dari dua tahun, menanggapi pernyataan itu. Ia mengatakan masalah yang dihadapi Myanmar dan Bangladesh hanya dapat diselesaikan secara bilateral, yang menurutnya telah diabaikan dalam pernyataan DK PBB.
"Selanjutnya, pernyataan (Dewan Keamanan) itu berpotensi secara serius mengganggu negosiasi bilateral antara kedua negara yang telah berjalan dengan lancar," kata kantor Suu Kyi, dalam sebuah pernyataan.
Ia mengungkapkan, saat ini perundingan dengan Bangladesh masih terus berlanjut. Menteri Luar Negeri (Menlu) Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali telah diundang ke Myanmar pada 16-17 November mendatang
Menlu AS Rex Tillerson juga dijadwalkan akan mengunjungi Myanmar sehari sebelumnya, pada 15 November. Washington telah mengeluarkan RUU untuk mengeluarkan sanksi terhadap Myanmar, yang menargetkan militer dan sektor bisnis negara itu.
Meski demikian, Myanmar mengatakan tetap menghargai beberapa anggota DK PBB yang menerapkan prinsip campur tangan dalam urusan dalam negeri beberapa negara berdaulat.
PBB telah mengecam kekerasan tersebut dalam 10 pekan terakhir dan menyebutnya sebagai contoh dari pembersihan etnis untuk mengusir Muslim Rohingya dari wilayah yang dihuni mayoritas umat Buddha Myanmar.