REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Salah satu perusahaan 'wisata voluntir' terbesar di dunia memutuskan hubungan dengan semua panti asuhan di luar negeri, sejalan meningkatnya penentangan terhadap praktek wisata panti asuhan.
Perusahaan bernama Projects Abroad itu memfasilitasi wisata ke panti asuhan di beberapa tempat termasuk Afrika dan Amerika Selatan selama dua dekade terakhir. Namun akhir tahun ini akan mengakhiri seluruh kemitraannya di berbagai negara.
Menurut manajer Projects Abroad di Australia Will Pashley, pihaknya menanggapi penelitian terhadap panti 'industri' asuhan yang menunjukkan banyak anak di panti asuhan memiliki anggota keluarga yang masih hidup.
"Sudah jelas adanya semacam pengaturan panti asuhan dimana sebenarnya yang terjadi adalah perdagangan anak," katanya.
"Kami yakin kami tidak melakukan aktivitas seperti itu, tapi jelas adanya kekhawatiran besar berkembangnya hal tersebut," tambahnya.
Sebuah komite Parlemen Australia baru-baru ini mendengar banyaknya anak-anak yang bukan anak yatim di panti asuhan, dieksploitasi untuk memenuhi permintaan warga Australia yang bermaksud baik untuk menjadi voluntir.
Menurut Senator Linda Reynolds dari Australia Barat, banyak di antara anak tersebut berasal dari latar belakang miskin dan sebagian diculik atau diperdagangkan untuk memenuhi permintaan para wisatawan. Senator Reynolds merupakan anggota komite penyelidikan parlemen untuk penyusunan Undang-Undang Perbudakan Modern di Australia.
Wisata panti asuhan dipasarkan sebagai cara jalan-jalan sembari beramal ke masyarakat yang mereka kunjungi. Ribuan warga Australia melakukan hal itu setiap tahun.
Namun menurut kelompok advokasi ReThink Orphanages, perawatan anak-anak di panti asuhan justru membahayakan perkembangan mereka. Para voluntir yang tinggal sementara di panti asuhan itu justru menambah masalah.
Menurut Koordinator ReThink Orphanages Leigh Mathews, sekitar 90 persen anak-anak di panti asuhan di berbagai negara sebenarnya memiliki anggota keluarga yang masih hidup. "Kebanyakan anak di panti asuhan tidak perlu berada di sana. Kita juga tahu bahwa anak-anak dirusak karena tumbuh di panti asuhan," katanya.
Projects Abroad menjadi perusahaan kedua yang memutuskan berhenti dari industri wisata panti asuhan dalam beberapa bulan terakhir, menyusul pengumuman World Challenge pada bulan September.
Menurut Leigh Mathews, ada momentum dalam industri pariwisata untuk mengubah diri. "Saya kita dengan adanya satu perusahaan yang memulai akan membuat perusahaan lain menyadarai hal ini mungkin dilakukan, dan tidak terlalu sulit," katanya.
"Jalannya masih panjang. Masih banyak perusahaan lain yang menawarkan wisata seperti ini. Banyak dari mereka belum siap memulai prosesnya, dan ada pula yang memang tidak mau," tambahnya.
Perdagangan dan pelecehan anak-anak
Menurut Pashley, Projects Abroad saat ini memiliki kemitraan dengan "kurang dari 20" panti asuhan di tujuh negara, termasuk Tanzania, Bolivia, dan Ethiopia. Perusahaan itu sedang dalam proses mengakhiri kemitraan tersebut, meski hal itu bukan berarti panti asuhan mitranya akan ditutup.
"Beberapa panti mungkin mengatakan, 'tidak apa-apa, toh ada organisasi lain yang bersedia menempatkan voluntir di sini'," katanya.
"Panti lainnya mungkin berusaha lebih konstruktif mencari alternatif bagi anak-anaknya," tambahnya.
Anak-anak yang tinggal dengan keluarga mereka sendiri, atau dalam perawatan sanak keluarga merupakan pilihan terbaik, namun Leigh Mathews mengatakan hal itu dapat sulit dicapai. "Reintegrasi anak-anak kembali ke keluarganya bukanlah proses sederhana. Hal ini membutuhkan waktu dan kepekaan," katanya.
Data yang ada menyebutkan empat belas persen sekolah dan lebih separuh universitas di Australia memiliki hubungan dengan panti asuhan di luar negeri.
Banyak orang berpendapat mengunjungi panti asuhan merupakan cara positif membantu sebuah komunitas. Namun ada upaya-upaya membuat UU untuk melarang warga Australia melakukan kunjungan semacam itu.
Awal tahun ini, Australia menjadi negara pertama di dunia yang mengakui wisata panti asuhan sebagai bentuk perbudakan modern, sebagai hasil dari penyelidikan parlemen.
Menurut Senator Reynolds, lselanjutnya adalah membuat UU untuk melarang praktik tersebut serta meningkatkan kesadaran masyarakat.
"Warga Australia akan merasa ngeri jika mengetahui bahwa saat mereka membantu panti-panti ini, mereka sebenarnya membayar agar anak-anak ini diperdagangkan dan diselundupkan serta dilecehkan," katanya.
"Kami sedang menyiapkan program pendidikan sehingga kelompok gereja, sekolah, klub pelayanan, semua orang yang ke luar negeri dengan niat terbaik, melakukannya dengan cara yang lebih tepat," tambahnya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.