REPUBLIKA.CO.ID, PHNOMPENH -- Perdana menteri terlama Kamboja, Hun Sen mengatakan, hasil pemilihan umum pada 2018 tidak membutuhkan pengakuan internasional agar menjadi sahih, yang mengartikan tekad terkininya untuk mempertahankan kekuasaan setelah hampir 33 tahun menjabat.
Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen mendapat kritikan, termasuk dari anggota Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP), dalam beberapa bulan belakangan dalam yang dikatakan lawannya berupaya memperkuat cengkeraman kekuasaan menjelang pemungutan suara.
Pengadilan akan memutuskan pada 16 November apakah akan membubarkan CNRP, setelah pemerintah mengajukan tuntutan hukum menuntut pembubarannya. Kritik terhadap Hun Sen menuduhnya mencoba mengubah negara menjadi negara satu partai.
Pertikaian sengit antara kedua pihak telah meningkat, dengan Hun Sen yang memberi ancaman perang jika partainya kalah dalam jajak pendapat 2018. Pemimpin oposisi Kem Sokha didakwa melakukan pengkhianatan pada September, setelah dituduh pemerintah bahwa pihaknya berencana menggulingkan para pemimpinnya dengan dukungan dari Amerika Serikat.
Kelompok hak asasi mengatakan Kem Sokha dipenjara dengan tuduhan palsu. Setengah dari anggota parlemen oposisi Kamboja telah meninggalkan negara tersebut.
Beberapa kelompok hak asasi manusia mendesak Uni Eropa dan Jepang mempertimbangkan untuk menghentikan pendanaan mereka bagi panel pemilu Kamboja, jika pemerintah berhasil membubarkan oposisi.
Saat berbicara di acara pemuda di ibu kota Phnom Penh, Hun Sen mengatakan pemilu akan diadakan pada 29 Juli, terlepas dari apakah ada dana asing atau tidak. "Komite Pemilu Nasional (NEC) akan mengumumkan hasil akhir ... tidak perlu ada yang mengakuinya atau tidak, kita tidak membutuhkannya," katanya, Jumat.
Hal tersebut diucapkannya setelah pendaftaran pemilih ditutup pada Kamis, dengan dua pertiga calon pemilih yang masih belum terdaftar. Som Sorida, wakil sekretaris jenderal di NEC, mengatakan bahwa 536.230 pemilih yang berhak telah terdaftar dari target 1,6 juta.
"Banyak dari 1,6 juta orang adalah pekerja migran di luar negeri," kata Som Sorida, "Kami tidak menyangka bahwa mereka akan datang untuk mendaftarkan hak pilihnya."
NEC mengatakan bahwa 8,3 juta orang di Kamboja telah mendaftar untuk mengikuti pemilu secara keseluruhan. Koul Panha, direktur Panitia Pemiliha Umum Bebas dan Adil di Kamboja, mengatakan bahwa jumlah kecil pemilih sebagian karena tekanan dan ketegangan politik.