REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Luar Negeri terus memantau perkembangan situasi di Lebanon terkait keamanan Warga Negara Indonesia yang berada di negara itu, setelah ketegangan dengan Arab Saudi memuncak pascapengunduran diri Perdana Menteri Saad Hariri di ibu kota Saudi, Riyadh.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu lalu Muhammad Iqbal di Bogor, Jawa Barat, Ahad (12/11), mengatakan saat ini terdapat 155 WNI yang tinggal di Lebanon yang merupakan pelajar atau mahasiswa, serta keluarga staf Kedutaan Besar RI di Beirut.
"Keamanan Libanon tidak hanya penting bagi WNI yang berada di sana, tapi juga sekitar 1.000 WNI yang masih berada di Suriah karena saat ini Lebanon menjadi satu-satunya pintu keluar dari Suriah yang masih aman," kata dia.
Berdasarkan data PWNI-BHI, saat terjadi konflik Suriah pada 2012-2014, sedikitnya 7.000 buruh migran Indonesia yang bekerja di sana dievakuasi ke Lebanon dan ditampung di KBRI Beirut sebelum diterbangkan kembali ke Indonesia.
Terkait konflik politik di Kawasan Teluk tersebut, Direktur PWNI-BHI menegaskan fokus utama pemerintah Indonesia adalah keselamatan para WNI sehingga Kemenlu terus menjalin komunikasi dengan KBRI Beirut dan mengimbau mereka untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik apa pun.
Selain 155 warga sipil dan diplomatik, terdapat 1296 WNI anggota Pasukan Perdamaian PBB di bawah misi United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL).
Ketegangan Lebanon dan Arab Saudi dipicu saling tuduh di antara keduanya telah mendeklarasikan perang. Faksi Hizbullah di Lebanon menuduh Saudi telah meminta Israel menyerang negaranya, sementara Saudi menuduh Lebanon telah menerima misil dari Iran untuk menyerang Riyadh melalui Yaman.
Hizbullah juga menuduh pengunduran diri PM Hariri di Riyadh merupakan bentuk intervensi politik Saudi kepada Lebanon. Sementara tuduhan Saudi pada negara yang berbatasan langsung dengan Suriah dan Israel itu diikuti pemberlakuan "travel warning" bagi warga negaranya ke Libanon.