Senin 13 Nov 2017 19:50 WIB

Din Syamsudin Tampil dalam Pertemuan Puncak Ekonomi Cina

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Agus Yulianto
Menjelaskan.  Utusan Khusus Presiden Din Syamsudin dalam audiensi yang  bertempat di kantor Utusan Khusus Presiden, Jakarta, Jumat (10/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menjelaskan. Utusan Khusus Presiden Din Syamsudin dalam audiensi yang bertempat di kantor Utusan Khusus Presiden, Jakarta, Jumat (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban Prof Din Syamsuddin menjadi pembicara pada The 9th World Chinese Economic Summit (Pertemuan Puncak Ekonomi China) di Hongkong, Senin (13/11). Pertemuan Puncak tersebut merupakan agenda tahunan para Tionghoa diaspora dari seluruh dunia.

Pertemuan ke-9 di Hongkong, 13-14 Nopember 2917 dihadiri sekitar 350 Tionghoa diaspora, yang mayoritas terdiri dari pengusaha. Pertemuan kali ini mengangkat tema "Managing Global Uncertainty, Exploring Opportunities" atau "Mengelola Ketakpastian Dunia, Mengungkap Peluang-peluang".

Din Syamsuddin, yang diundang dalam kapasitas sebagai Utusan Khusus Presiden, mendapat giliran menjadi salah seorang panelis pada Sesi Pertama tentang Amerika Serikat, Cina, dan Optimisme Menghadapi ketakpastian dunia. Dalam presentasinya Din Syamsuddin mengatakan bahwa memang dunia tengah menghadapi bukan hanya ketidakpastian, tapi juga kekacauan, dan kerusakan akumulatif.

"Hal ini sebenarnya berpangkal pada Sistem Dunia (World System) yang rancu. Kerancuan itu, menurunkan sub-sub sistem dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang juga mengandung kerancuan," ujar Din Syamsudin dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (13/11).

Solusi terhadap kerusakan peradaban dunia tersebut, menurut Din Syamsuddin, adalah dengan mengubah sistem dunia itu sendiri. Selama ini sistem dunia terlalu berwajah antroposentris (menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran), dan kurang berwajah teosentris (Tuhan sebagai pusat kesadaran). Akibatnya, kata Din, peradaban dunia kering-kerontang dari nilai-nilai etika dan moral.

Dalam bidang ekonomi terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan kemudian menciptakan kesenjangan serta ketidakadilan. Dalam bidang politik terjadi proses zero sum game, yakni kecenderungan saling menafikan dan mendominasi yang sering menimbulkan konflik. Begitu pula dalam bidang budaya merajalela budaya liberal dan hedonis.

Ketika ditanya moderator, negara mana yg tepat dan selama dua dasawarsa terakhir menerapkan kekuatan lembut (soft power), Din secara spontan menyebut Indonesia, yang langsung disambut tepuk tangan sebagian peserta yang memenuhi ballroom Shangrila Hotel, Hongkong.

Dalam jawabannya, Din Syamsuddin yang adalah Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta ini menjelaskan, bahwa untuk menanggulangi kerusakan dunia yang bersifat akumulatif, diperlukan negara atau koalisi negara-negara denfan posisi tengahan (median position).  "Indonesia, dalam hal ini, merupakan negara dengan posisi tengahan dan orientasi jalan tengah (the middle way)," ujar Din.

Dalam kaitan kebangkitan Cina dewasa ini, Din menegaskan harus diselenggarakan dalam suatu wawasan kawasan Asia Timur dan lewat mekanisme internasional. Jika tidak demikian, lanjut Din, kebangkitan Cina dengan ambisi One Belt One Road (OBOR) akan berpotensi menimbulkan ketegangan dunia, karena Cina hanya melanjutkan perilaku Amerika Serikat yang hegemonik.

Din Syamsuddin menyerukan agar budaya hubungan internasional berlangsung atas semangat dialog dan kerjasama yg saling menguntungkan, dan berorientasi pada kesadaran akan Satu Kemanusiaan, Satu Tujuan, dan Satu Tanggung Jawab (One Humanity, One Destiny, One Responsibility).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement