REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Naskah awal komunike bersama hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN dilaporkan tidak sekali pun mencantumkan kata “Rohingya” sebagai sebutan untuk etnis Muslim korban kekerasan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Merujuk dokumen yang didapatkan Reuters pada Senin (13/11), satu paragraf komunike itu hanya menyebutkan pentingnya bantuan kemanusiaan untuk komunitas yang terkena dampak di bagian utara Rakhine. Selebihnya, naskah itu menyebutkan pentingnya bantuan yang diberikan kepada korban bencana alam di Vietnam dan korban pertempuran dengan militan di Filipina.
Naskah tersebut juga tidak memberikan perincian situasi di Rakhine atau bahkan menggunakan istilah Rohingya untuk minoritas Muslim yang teraniaya. Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi sebelumnya telah meminta para pemimpin asing untuk menghindari penyebutan nama Rohingya.
Bermula pada serangan militan Rohingya pada Agustus lalu, aksi pembalasan brutal oleh militer Myanmar telah memunculkan salah satu gelombang eksodus terbesar di dunia. Sedikitnya 600 ribu etnis Rohingya, kebanyakan perempuan, lanjut usia, dan anak-anak, mengungsi dari Rakhine ke Bangladesh.
Kekejaman militer Myanmar yang mendorong eksodus tersebut, menurut Dewan HAM PBB, merupakan aksi pembersihan etnis. Para pengungsi Rohingya sejauh ini hidup dalam kondisi memprihatinkan di pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Beberapa negara anggota ASEAN, khususnya Malaysia dan Indonesia, telah menyuarakan keprihatinan mereka. Namun, sesuai dengan prinsip ASEAN yang tidak mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain, masalah tersebut tampaknya telah dikesampingkan dalam KTT kali ini.
Mantan menteri luar negeri Filipina Roberto Romulo mengatakan kepada saluran berita Filipina, //ANC//, soal kemungkinan tak adanya diskusi tentang Rohingya di KTT ASEAN. "Mereka memperlakukan dengan sangat hormat pemenang Nobel Perdamaian yang telah didiskreditkan, seperti Aung San Suu Kyi," kata Romulo.
Dalam pidatonya pada pleno KTT ke-31 ASEAN, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan keprihatinannya terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine. Meski begitu, senada dengan draf pernyataan bersama ASEAN, Presiden tak menggunakan kata Rohingya.
"Kita semua sangat prihatin dengan krisis kemanusiaan di Rakhine State dan juga paham akan kompleksitas masalah di Rakhine State, namun kita juga tidak dapat berdiam diri,” kata Jokowi, dari siaran resmi Istana Negara, Senin (13/11).
Menurut Jokowi, jika dibiarkan, masalah ini akan berdampak pada keamanan dan stabilitas di kawasan, termasuk memicu munculnya radikalisme serta penyelundupan manusia. “Kita harus bergerak bersama. Myanmar tidak boleh tinggal (diam). ASEAN juga tidak boleh tinggal diam,” ucap Presiden.
Presiden menyampaikan, Pemerintah Indonesia telah ikut berkontribusi mengatasi krisis tersebut dengan memberikan bantuan kemanusiaan. Selain itu, Indonesia juga telah memberikan usulan formula 4+1 untuk Rakhine, termasuk mendukung implementasi rekomendasi dari mantan sekjen PBB Kofi Annan yang ditugasi sebagai kepala tim pencari fakta oleh Pemerintah Myanmar.
Lebih lanjut, Presiden berharap agar tiga butir yang dijanjikan Aung San Suu Kyi, yaitu repatriasi dan bantuan kemanusian, pemukiman kembali dan rehabilitasi, serta pembangunan dan perdamaian dapat diimplementasikan. Pemerintah Indonesia berharap pembicaraan antara Bangladesh dan Myanmar terkait repatriasi dapat segera diselesaikan dan diimplementasikan.
Selain itu, dalam forum ini, Presiden Jokowi juga mengharapkan agar The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) bisa mendapatkan akses secara penuh untuk memberikan bantuannya. “Dan, akan baik jika ASEAN menjadi bagian penyelesaian masalah. Kita harus buktikan kepada masyarakat kita dan dunia bahwa kita mampu menangani masalah kita,” kata Jokowi.
Sedangkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam pidato pembukaan KTT ke-31 ASEAN pada Senin (13/11) lebih menekankan soal perlunya membahas persoalan ekstremisme. Selain itu, menurut Duterte, agenda prioritas lainnya adalah soal perompakan di laut serta peredaran narkoba.
Perwakilan Amnesty International Filipina Wilnor Papa mengatakan kepada ANC, para pemimpin ASEAN akan berbicara tentang terorisme, perdamaian, dan ketertiban. Namun, ia menyayangkan bahwa salah satu persoalan paling besar di ASEAN, yakni penderitaan etnis Rohingya, luput menjadi sorotan.
(Marniati, Tulisan diolah oleh Fitriyan Zamzami).