REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Crystal Liestia Purnama
Jumlah anak-anak Rohingya yang mengalami gizi buruk, baik di Myanmar maupun di Bangladesh, meningkat drastis. Sebuah survei baru-baru ini dari Komite Penyelamatan Internasional (IRC) bekerja sama dengan Aksi Melawan Kelaparan (ACF) menyatakan, mereka menghadapi peningkatan angka gizi buruk 10 kali lebih tinggi dibandingkan jumlah tahun lalu.
Sementara, menurut hasil survei dari Badan PBB untuk Dana Anak-anak (Unicef), 7,5 persen anak-anak Rohingya yang mengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, menderita gizi buruk akut. Hasil-hasil survei tersebut sama-sama dikeluarkan pada bulan ini, November 2017, demikian menurut VOA News.
Setidaknya, jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding data dari bulan Mei, empat bulan sebelum pengungsian massal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sedangkan, menurut tingkat darurat internasional, mencapai hampir empat kali lipat.
Kondisi tersebut membuat mereka membutuhkan penyelamatan segera. Sekitar 40 ribu anak Rohingya berusia antara enam bulan dan lima tahun membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan nyawa mereka. Sedangkan, 10 kali lipat bayi dan balita berusia di bawah enam bulan menghadapi ancaman kematian yang fatal, diukur berdasarkan lingkar lengan mereka. Jika diperkirakan, butuh lebih dari 12 juta dolar AS untuk menangani krisis kemanusiaan tersebut.
Lebih dari 600 ribu orang Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan di Myanmar sejak 25 Agustus. IRC memperkirakan akan ada pendatang baru di pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, sebanyak 200 ribu orang dalam beberapa pekan mendatang. Maka, jumlah penduduk di Bangladesh akan mencapai 1 juta orang lebih. Hal itu dapat memperburuk krisis tersebut jika tidak segera ditangani.
“Kondisi yang kita lihat di Bangladesh seperti badai yang sempurna untuk krisis kesehatan masyarakat dalam skala yang tak terbayangkan. Keluarga-keluarga Rohingya sangat rentan dengan kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi, tingkat kerawanan pangan yang tinggi, keterbatasan akses layanan kesehatan, dan kondisi kebersihan, sanitasi, serta akses terhadap air bersih. Kesemuanya memicu tingkat kekurangaan gizi yang sangat tinggi,” kata Direktur Tanggap Darurat IRC Cat Mahony.
Unicef menyebutkan, pengungsi menghadapi masalah kekurangan makanan dan air yang akut. Ditambah pula dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat, hal itu menimbulkan tingkat risiko terkena diare yang tinggi, infeksi pernapasan, dan penyakit lainnya.
Adapun juru bicara Unicef Christopher Boulierac mengatakan, anak-anak yang mengalami gizi buruk berisiko meninggal dunia akibat kondisi yang tidak dapat dicegah dan tak terobati dengan layak. “Tingkat kekurangan gizi di kalangan anak-anak di Rakhine utara sudah berada di atas ambang batas darurat. Kondisi ini semakin memburuk karena perjalanan panjang mereka melintasi perbatasan ditambah kondisi buruk di pengungsian,” ujarnya.
Menurut Boulierac, lebih dari 2.000 anak dengan kondisi gizi buruk dirawat oleh Unicef dan 15 organisasi mitra. Unicef dan mitra-mitranya sedang mempersiapkan lebih banyak lagi pusat perawatan. Namun, itu diperkirakan tidak bisa segera mencakup kebutuhan sekitar 17 ribu anak-anak lainnya yang membutuhkan makanan bergizi.
Sementara, IRC dan ACF telah membangun pusat tanggap darurat di kedua sisi perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar untuk pengungsi Rohingya. Mereka membuka empat pusat perawatan khusus untuk kondisi gizi buruk akut yang buka 24 jam sebagai langkah pertama.
(Tulisan diolah oleh Yeyen Rostiyani).