REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lembaga hak asasi Amnesty International menolak penyelidikan internal oleh militer Myanmar untuk menguak penyebab krisis Rohingya di Rakhine. Amnesty International mendesak agar Myanmar memberi akses kepada tim misi pencarian fakta PBB untuk menyelidiki kasus tersebut.
Direktur Regional Amensty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik James Gomez mengatakan, sudah cukup banyak bukti beredar dan mengindikasikan militer Myanmar bertanggung jawab atas krisis yang terjadi di Rakhine dan memaksa Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
“Ada banyak bukti bahwa militer telah membunuh dan memperkosa orang-orang Rohingya, serta mebakar desa-desa mereka,” ungkap Gomez pada Senin (13/11).
“Setelah merekam banyak cerita horor (dari pengungsi Rohingya) dan menggunakan citra satelit untuk melacak kehancuran yang berkembang, kita hanya bisa mencapai satu kesimpulan bahwa serangan ini sama dengan kejahatan kemanusiaan,” ujar Gomez menambahkan.
Oleh sebab itu, Amensty International, kata dia, menolak penyelidikan internal yang dilakukan militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Menurutnya, hal tersebut berpotensi mengaburkan bahkan menghilangkan bukti keterlibatan militer dalam kekerasan di daerah terkait.
“Sekali lagi militer Myanmar mencoba menyapu pelanggaran serius terhadap Rohingya ke bawah karpet,” ujar Gomez menegaskan.
Ia berpendapat, tak ada cara lain untuk mendapatkan data dan informasi yang independen mengenai krisis di Rakhine selain melalui penyelidikan yang independen pula. Hal ini dapat dilakukan bila Myanmar memberi akses penuh bagi utusan dan tim misi pencarian fakta PBB ke Rakhine.
Pekan lalu, Dewan Keamanan PBB meminta agar Myanmar tak lagi mengerahkan kekuatan militer ke negara bagian Rakhine. "Dewan Keamanan meminta Pemerintah Myanmar untuk memastikan tidak ada lagi penggunaan kekuatan militer berlebihan di Rakhine guna memulihkan pemerintahan sipil dan menerapkan peraturan hukum dan untuk segera melakukan tindakan serta komitmen mereka untuk menghormati hak asasi manusia," kata Dewan Keamanan PBB.