REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Laporan penyelidikan militer Myanmar mengatakan tidak ada warga sipil Rohingya yang terbunuh dalam operasi militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Laporan yang dikeluarkan pada Senin (13/11) itu menyatakan tidak ada kematian dari orang-orang yang tidak bersalah.
Militer Myanmar mengatakan 376 teroris tewas dalam pertempuran di Rakhine sejak Agustus lalu. Pertempuran ini telah menyebabkan eksodus massal sekitar 600 ribu warga Muslim Rohingya ke negara tetangga Bangladesh.
Banyak korban selamat tinggal kamp-kamp kumuh di Bangladesh, yang digambarkan sebagai krisis pengungsi terburuk di dunia. Mereka melaporkan adanya pembunuhan massal, penyiksaan, dan pemerkosaan terhadap anak-anak, wanita, dan pria Rohingya.
Human Rights Watch (HRW) menyebut laporan militer Myanmar itu sangat tidak masuk akal. Menurut HRW, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag harus melakukan penyelidikan sendiri terkait insiden kekerasan itu.
"Upaya tak masuk akal militer Birma untuk membebaskan diri dari tanggung jawab atas kekerasan massal, menggarisbawahi mengapa penyelidikan internasional yang independen diperlukan untuk mencari fakta dan mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab," kata Brad Adams dari HRW, pada Selasa (14/11), dikutip Aljazirah.
"Pihak berwenang Birma sekali lagi menunjukkan mereka tidak dapat dan tidak akan dengan mudah bisa menyelidiki diri mereka sendiri," tambah dia.
PBB telah menyebut Muslim Rohingya di Myanmar sebagai minoritas paling teraniaya di dunia. Juru bicara PBB Jeremy Laurence mengatakan dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (14/11), penyidik mereka di Bangladesh menemukan banyak bukti adanya pembunuhan dan penyiksaan terhadap warga sipil di Myanmar.
"Temuan kami cukup jelas mengenai apa yang sedang terjadi. Apa yang kami temukan di Negara Bagian Rakhine adalah contoh buku teks tentang pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, penyerangan, dan penyiksaan. Kami mendengar ini dari orang-orang secara berulang-ulang," papar Laurence.
Laporan militer Myanmar dan kecaman HRW terhadap laporan itu dilakukan saat Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson tiba di Myanmar pada Rabu (15/11). AS telah didesak untuk menerapkan sanksi ekonomi dan sanksi perjalanan terhadap militer Myanmar yang bertanggung jawab atas krisis Rohingya.
Presiden AS Donald Trump mengatakan dia mendukung pemulangan yang aman dan sukarela para pengungsi tersebut ke Myanmar.
"AS mendukung upaya untuk mengakhiri kekerasan, untuk memastikan pertanggungjawaban atas kekejaman yang dilakukan. Kami menyambut baik komitmen pemerintah Myanmar dan kami siap mendukung pelaksanaan rekomendasi Rakhine," ujar sebuah pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih, mengutip pernyataan Trump.