REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Rex Tillerson mengunjungi Myanmar pada Rabu (15/11) untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kunjungan Tillerson dilakukan di tengah krisis di Negara Bagian Rakhine, yang telah membuat ratusan ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Kantor Suu Kyi mengkonfirmasi, Tillerson akan bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar tersebut dalam kunjungan satu harinya. Tillerson diperkirakan akan melakukan pembicaraan mengenai situasi di Negara Bagian Rakhine utara. Dia juga akan bertemu dengan kepala militer Myanmar Min Aung Hlaing yang bertanggung jawab atas operasi di Rakhine.
Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Tillerson akan menggunakan kunjungan tersebut untuk mengungkapkan keprihatinan atas kekerasan dan ketidakamanan yang mempengaruhi masyarakat Rohingya dan masyarakat lokal lainnya.
Tillerson juga akan mendiskusikan cara untuk membantu pemangku kepentingan di Myanmar agar dapat menerapkan komitmen yang bertujuan mengakhiri krisis.
Kunjungan Tillerson dilakukan setelah sebuah laporan baru dikeluarkan oleh Museum Memorial Holocaust Amerika Serikat dan kelompok advokasi Fortify Rights. Mereka menemukan adanya bukti kuat aksi genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
Laporan ini menuduh pasukan keamanan dan warga sipil Myanmar telah melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pelanggaran lainnya. Mereka meminta masyarakat internasional untuk melakukan tindakan segera
"Kejahatan ini berkembang dengan impunitas dan tanpa aksi penentangan. Kecaman saja tidak cukup. Tanpa adanya tindakan internasional untuk mendesak pertanggungjawaban, maka pembunuhan massal akan terus terjadi," kata Kepala Fortify Rights, Matthew Smith.
Militer Myanmar membantah tuduhan tersebut dalam sebuah laporan yang dirilis pada Senin (13/11). Mereka mengaku telah mewawancarai ribuan orang selama satu bulan penyelidikan, terkait operasi militer di Rakhine setelah gerilyawan Rohingya melancarkan serangkaian serangan mematikan di sana pada 25 Agustus lalu.
Laporan militer Myanmar tersebut menyatakan pertempuran melawan gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) berhasil menewaskan 376 teroris. Mereka juga mengklaim pasukan keamanan tidak pernah menembak warga Bengali dan tidak ada kematian di pihak orang-orang yang tidak bersalah.