REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Google telah meminta otoritas Amerika Serikat (AS) melarang pemerintah atau negara asing memasang iklan pemilu di lamannya. Permintaan ini berkaitan dengan skandal intervensi Rusia dalam pemilihan presiden AS tahun lalu.
Dalam sebuah pengajuan tertulis kepada regulator pemilihan independen AS, yakni Komisi Pemilu Federal, Google menyatakan iklan berbau pemilu oleh negara asing harus dilarang untuk pemilihan AS di masa mendatang. Google mengusulkan memperkuat larangan ini terhadap warga asing yang membayar atau mendistribusikan materi pemilu melalui postingan daring.
Tak hanya itu, Google pun menyarankan agar larangan tersebut tidak hanya mencakup kampanye untuk calon individu, tetapi mencakup isu yang lebih luas. "Ini akan memastikan pelarangan nasional asing yang jelas melarang komunikasi berbayar melalui internet dan telah menjadi ilegal jika didistribusikan melalui siaran, kabel, atau satelit," kata Google dalam suratnya, dikutip laman The Telegraph, Kamis (16/11).
Google pun menyatakan dukungannya kepada Komisi Pemilu Federal untuk turut berkontribusi dalam mencari solusi yang tepat atas masalah ini. "Google mendukung upaya komisi untuk mengidentifikasi solusi yang mempromosikan transparansi, melestarikan internet sebagai pasar yang dinamis untuk debat politik, dan menghalangi intervensi asing dalam pemilu AS," ucapnya.
Larangan pemasangan iklan pemilu oleh pemerintah atau warga asing di laman Google ini hanya akan berlaku di AS. Namun otoritas atau pemerintah di negara lain diperkenankan menerapkan hal serupa bila khawatir proses pemilu mereka diintervensi.
Google dan Facebook sebagai dua perusahaan raksasa platform media digital telah memasang iklan politik di lamannya sebelum pemilihan presiden AS tahun lalu. Iklan-iklan tersebut diakui keduanya dipasang dan dibayarkan oleh orang Rusia. Adapun biaya pemasangan iklan tersebut mencapai puluhan ribu dolar AS.
Iklan yang dipasang oleh orang Rusia ini belakangan diketahui menggiring publik yang mengkliknya ke sebuah laman berita palsu atau hoaks. Berita ini sengaja disebar oleh Rusia untuk menyesatkan masyarakat sebelum tiba waktunya memilih kandidat atau calon di negara terkait. Fenomena ini diduga tidak hanya terjadi di AS, tapi juga beberapa negara Eropa.