Kamis 16 Nov 2017 12:42 WIB

Chevron Tanggapi Kritik Soal Kemitraannya dengan Myanmar

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Ilustrasi
Foto: Reuters/Mike Blake
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Perusahaan raksasa minyak AS Chevron menanggapi kritik terkait kemitraannya dengan pemerintah Myanmar yang dituduh melakukan pembersihan etnis oleh PBB. Perusahaan tersebut memiliki investasi energi bernilai miliaran dolar di Myanmar.

Setelah bertahun-tahun mendapat tekanan dari investor aktivis, Chevron mengatakan akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis yang menghormati hak asasi manusia (HAM). "Chevron menghargai dialog yang sedang berlangsung dengan para pemegang saham mengenai isu kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar," kata perusahaan tersebut dalam sebuah pernyataan kepada BBC.

 

"Kami percaya investasi AS merupakan mekanisme yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Kami akan terus bekerja sama dengan perusahaan AS lainnya dan pemerintah untuk mempromosikan nilai investasi AS di Myanmar dan mendorong lingkungan bisnis yang menghormati hak asasi manusia," tambah Chevron.

 

Chevron bersama perusahaan raksasa minyak asal Prancis, Total, memiliki proyek eksplorasi minyak dan gas di Rakhine Basin yang kaya akan sumber daya, serta proyek-proyek lainnya di daerah lain di Myanmar. Investor asing harus bekerja sama dengan Perusahaan Minyak dan Energi Nasional Myanmar (MOGE) jika mereka ingin berinvestasi di sektor energi yang sebagian besar masih dimiliki negara itu.

 

Azzad Asset Management menjadi perusahaan besar pertama yang menekan Chevron untuk memperhatikan isu HAM di Myanmar. Perusahaan tersebut meminta Chevron mendorong pemerintah Myanmar menerapkan kebijakan yang efektif untuk membawa perdamaian ke kawasan itu.

 

Azzad Asset Management juga meminta Chevron mempertimbangkan menghentikan bisnis di negara tersebut. Perusahaan AS itu dilaporkan telah memiliki aset senilai 53 miliar dolar AS, termasuk dana dari Chevron.

 

"Ada kekhawatiran terhadap aset bisnis di wilayah ini serta risiko reputasi yang menyertai nama perusahaan yang terkait dengan negara yang mungkin terlibat dalam aksi genosida," ujar investor aktivis Chevron, Joshua Brockwell, dari Azzad Asset Management mengatakan kepada BBC.

 

Cina juga memiliki investasi besar di Rakhine, yaitu sebuah pelabuhan laut dalam senilai 7.2 miliar dolar AS dan jaringan pipa gas yang berada di bawah Rakhine, yang memompa gas dari Teluk Benggala ke Cina. India juga memiliki pusat multi-transportasi bernilai miliaran dolar di negara ini.

 

Penciptaan sebuah komite untuk 'Zona Ekonomi Rakhine' telah diumumkan pada Oktober lalu. Komite ini berfungsi mengembangkan kawasan ekonomi di Negara Bagian Rakhine, termasuk perikanan dan pertanian.

 

"Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi sepenuhnya memahami hal-hal mengerikan yang telah terjadi di Negara Bagian Rakhine dan benar-benar berkomitmen untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik," ujar Sean Turnell, penasihat ekonomi khusus Suu Kyi kepada BBC.

 

Turnell mengatakan membangkitkan kembali perekonomian di Rakhine dimaksudkan untuk memukimkan kembali pengungsi Rohingya. "Tentu saja kita berbicara tentang Rohingya yang kembali dari Bangladesh, dan juga masyarakat lokal Rakhine," jelasnya.

 

Beberapa hari setelah pertemuan pertama komite tersebut, Suu Kyi melakukan kunjungan pertamanya ke Rakhine sejak Agustus lalu. Ia pergi ke sana bersama salah satu pengusaha paling kaya di negaranya. Akan tetapi, ada kecurigaan yang timbul di banyak sisi. Analis risiko bisnis di Asia Tenggara, Bob Herrera-Lim, dari Teneo Intelligence, yang berbasis di Filipina, mengungkapkan pendapatnya.

 

"Pasti ada kecurigaan mengenai apakah ini hanya untuk pencitraan atau tidak. Sejumlah besar sumber daya alam Myanmar, seperti minyak dan gas, hutan dan mineral, berada dalam zona konflik, jadi harus ada perbaikan dalam tata kelola dan persepsi Myanmar. Sejauh ini kita belum melihat adanya penarikan investasi asing yang signifikan," ujar Herrera-Lim.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement