Kamis 16 Nov 2017 15:12 WIB

Aktivis Kembali Desak Setop Genosida Warga Rohingya

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
 Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang mealrikan diri dari Myanmar, tertahan di perbatasan di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto: AP/Dar Yasin
Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang mealrikan diri dari Myanmar, tertahan di perbatasan di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Aktivis kemanusiaan kembali mendesak untuk segera menghentikan genosida yang tengah menimpa warga muslim Rohingya. Desakan itu muncul usai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson yang menyatakan belum akan memberikan sanksi kepada Myanmar terkait krisis tersebut.

"Warga Rohingya menghadapi genosida abad 21 dan kita harus menentang itu. Langkah Amerika dan komunitas internasional masih belum cukup," kata President of Burmese Rohingya Organisation yang berbasis di Inggris, Tun Khin seperti dikutip Aljazirah, Kamis (16/11).

Rex Tillerson telah bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Alih-alilh menjatuhkan sanksi kepada Myanmar, Tillerson hanya akan memberikan sanksi individual terhadap pejabat militer berdasarkan informasi yang kuat dan dapat dipercaya atas keterlibatan mereka kepada warga Rohingya.

Hasil investigasi internal militer Myanmar mengaku tidak menemukan adanya kekerasan terhadap kaum Rohingya. Meski demikian, Tillerson meminta penyelidikan dilakukan oleh lembaga independen.

Kendati, Tun Khin mengaku khawatir hal tersebut tidak bisa dilaksanakan. Ini lantaran milter Myanmar menjaga ketat kawasan Rohingya dan tidak memperbolehkan pncari fakta masuk ke kawasan tersebut.

Museum Holokau di Amerika mendapat bukti meningkat tentang genosida di Myanmar setelah penyelidikan yang dilakukan selama satu tahun dengan kelompok hak asasi Asia Tenggara atau Fortify Rights Group. Hasil penyelidikan tersebut menunjukkan kekejaman penganiayaan terhadap Muslim Rohingya.

Laporan tersebut dilakukan berdasarkan wawancara dengan lebih dari 200 warga Rohingya dan pekerja bantuan. Mereka mengatakan, pasukan keamanan Myanmar melakukan kampanye kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, meluas, dan sistematis sejak Oktober 2016 dan berlanjut pada Agustus tahun ini.

Chief Executive Officer Fortify Rights, Matthew Smith mengatakan, kejahatan terhadap warga Rohingya telah berkembang dengan kekebalan. Dia mengatakan, hal tersebut lantas tidak mendapat tindakan signifikan dari dunia.

"Mengutuk saja tidak cukup, tidak adanya tindakan internasional yang mendesak pertanggungjawaban memungkinkan pembunuhan massal yang lebih besar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement