REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Rusia kembali menggunakan hak veto untuk yang kesepuluh kalinya terhadap resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB terkait Suriah sejak perang dimulai pada 2011.
Veto Rusia ini menghalangi rancangan resolusi AS untuk memperbarui penyelidikan mengenai siapa yang harus dipersalahkan atas serangan senjata kimia di Suriah.
Mandat penyelidikan bersama yang dilakukan oleh DK PBB dan Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW), akan berakhir pada Jumat (17/11). Penyelidikan ini telah menemukan pemerintah Suriah menggunakan racun terlarang sarin dalam serangan yang terjadi pada 4 April lalu di Khan Sheikhoun.
Resolusi DK PBB membutuhkan sembilan suara dukungan tanpa veto dari AS, Prancis, Rusia, Inggris, atau Cina, untuk bisa diadopsi. Teks rancangan resolusi AS mendapatkan 11 suara dukungan, sementara Rusia dan Bolivia menentang, Cina dan Mesir abstain.
Pemungutan suara tersebut memicu perang kata-kata antara Rusia dan AS di DK PBB. Hal ini terjadi beberapa jam setelah juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan Presiden AS Donald Trump percaya dia dapat bekerja sama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai isu Suriah.
Serangan sarin pada 4 April lalu di Khan Sheikhoun yang menewaskan puluhan orang, telah mendorong AS untuk meluncurkan serangan rudal ke sebuah pangkalan udara Suriah. "Kami akan melakukannya lagi jika kami harus melakukannya," kata Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, rancangan resolusi AS tidak seimbang. "Kami membutuhkan mekanisme profesional yang kuat yang akan membantu mencegah berkembangnya ancaman senjata kimia di wilayah ini dan Anda memberikan struktur mirip boneka untuk memanipulasi opini publik," kata Nebenzia.
Rusia memveto rancangan resolusi AS yang dikenal dengan Joint Investigative Mechanism (JIM) untuk memperbarui penyelidikannya sendiri. Namun Rusia hanya menerima empat suara dukungan, sementara tujuh suara lainnya menentang dan empat suara abstain.
Nebenzia mengatakan dia sangat kecewa. Setelah pertemuan tersebut berakhir, Jepang mengeluarkan sebuah rancangan resolusi untuk menggulirkan mandat penyelidikan selama satu bulan. Tidak jelas kapan DK PBB kembali akan melakukan pemungutan suara.
Meski Rusia menyetujui pembentukan JIM pada 2015, mereka secara konsisten selalu mempertanyakan hasil penemuannya. JIM sempat menyimpulkan pemerintah Suriah menggunakan klorin sebagai senjata kimia beberapa kali.
"Rusia telah membunuh Joint Investigative Mechanism. Rusia menerima penggunaan senjata kimia di Suriah. Bagaimana kita bisa mempercayai dukungan Rusia untuk perdamaian di Suriah?" kata Haley.
Suriah setuju untuk menghancurkan senjata kimia pada 2013 di bawah kesepakatan yang ditengahi oleh Rusia dan AS. "Kami mengutuk penggunaan senjata kimia oleh siapapun," kata Nebenzia.