REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih meminta Mahkamah Agung AS mengabulkan kebijakan larangan kunjungan Muslim secara penuh. Hal itu menyusul adanya putusan pengadilan Kalifornia mengundangkan sebagian kebijakan larangan kunjungan Muslim.
Dilansir dari Independent pada Selasa (21/11), larangan Presiden Trump diumumkan pada 24 September. Pengumuman itu menggantikan dua versi sebelumnya yang tertunda oleh pengadilan federal.
Permohonan pemerintah ke pengadilan tertinggi di AS itu berbeda dari larangan perjalanan sebelumnya. Perbedaan didasarkan pada tujuan keamanan nasional dan urusan luar negeri, bukan penganut agama.
Keputusan pengadilan banding pekan lalu, berarti larangan kunjungan hanya berlaku pada warga Iran, Libya, Suriah, Yaman, Somalia, dan Chad yang tidak memiliki koneksi ke Amerika Serikat. Koneksi itu didefinisikan sebagai hubungan keluarga dan hubungan formal atau terdokumentasi dengan entitas berbasis AS, seperti universitas dan lembaga permukiman.
Mereka yang diizinkan masuk AS hanya yang memiliki hubungan keluarga termasuk kakek-nenek, cucu, saudara ipar, ipar perempuan, bibi, paman, keponakan, keponakan, dan sepupu orang-orang di Amerika Serikat.
Hawaii menuntut pembatasan itu beralasan undang-undang imigrasi federal tidak memberi Presiden Trump wewenang menjatuhkan pembatasan terhadap enam negara Muslim itu. Hakim Distrik AS Derrick Watson menilai Hawaii kemungkinan berhasil dengan argumennya pekan lalu.
Trump mengeluarkan larangan perjalanan dari sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim pada Januari usai seminggu menjabat sebagai orang nomor satu di AS. Namun, Trump mengeluarkan revisi kebijakan itu usai adanya putusan penundaan oleh pengadilan.
Trump mengatakan larangan perjalanan bertujuan melindungi Amerika Serikat dari serangan militan Islam. Trump berjanji menghentian total umat Islam memasuki Amerika Serikat. Kritik terhadap larangan perjalanan itu dianggap melanggar Konstitusi AS karena membedakan berdasarkan agama.