REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengklaim pihaknya sedang mengupayakan penyelesaian krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Namun, dia meminta publik untuk bersabar.
Seperti dilaporkan Telegraph, Selasa (21/11), Suu Kyi menegaskan krisis Rohingya tidak mungkin selesai hanya semalam. Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Naypyitaw, Myanmar.
Lebih dari 600 ribu orang Rohingya mengungsi dari negara-bagian Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh. Krisis kemanusiaan Rohingya yang terbaru terjadi setidaknya sejak Agustus lalu.
Sampai saat ini, otoritas Myanmar menolak mengakui kewarganegaraan etnis yang mayoritasnya beragama Islam itu. Sejak September lalu, PBB telah menyebut adanya genosida atas orang-orang Rohingya di Myanmar.
Tekanan terhadap Suu Kyi sebagai tokoh prodemokrasi terus bermunculan. Tokoh peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 itu dinilai tidak berbuat apa-apa untuk menyuarakan atau memperbaiki nasib etnis Rohingya.
Sementara itu, sejumlah perwakilan negara Eropa yang hadir menghendaki agar Rakhine kembali kondusif untuk dihuni orang-orang Rohingya. Sven Mikser, perwakilan Estonia dalam Dewan Uni Eropa, menyampaikan hal tersebut.
Kembalinya mereka (orang-orang Rohingya) dengan aman dan terhormat ke tempat asal mereka. Mereka semua yang telah menyelamatkan diri (keluar) dari Myanmar, kata Mikser dalam jumpa pers ASEM di Naypyitaw.
Acara ASEM dihadiri para perwakilan dari 51 negara Asia dan Eropa. Tujuan penyelenggaraan ASEM adalah untuk meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dan politik.