Rabu 22 Nov 2017 15:49 WIB

Ratusan Ribu Pengungsi Rohingya Alami Trauma

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
Remaja Rohingya, Noor (18 tahun) mengaku mengalami perkosaan beramai-ramai oleh tentara Myanmar.
Foto: ABC
Remaja Rohingya, Noor (18 tahun) mengaku mengalami perkosaan beramai-ramai oleh tentara Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ratusan ribu pengungsi Rohingya yang kabur dari kejaran tentara Manmar kini mengalami trauma. Mereka berjuang untuk terbebas dari ketakutan akan bayang-bayang kekejaman selama operasi militer berlangsung di Rakhine.

Pejabat tinggi urusan pengungsi PBB Filippo Grandi mengatakan, warga pengungsi sangat pasif. Komunikasi yang dilakukan Grandi terhadap korban kekerasan militer Myanmar di lakukan di lokasi pengungsian.

Dia mengatakan, tak hanya cenderung diam, pengungsi juga hampir tidak merespons bentuk komunikasi yang disampaikan. Dia mengatakan, pengungsi terasa seperti kehilangan segalanya dan mereka terkonsumsi akan hal itu.

"Ini merupakan tanda-tanda dari trauma," kata Grandi seperti dikutip Reuters, Rabu (22/11).

Dia mengaku hampir tidak pernah lagi merasakan hal seperti ini sejak lama. Terakhir, diplomat asal Italia itu merasakan keheningan seperti di pengungsian Rohingya saat dia berada di Afrika pada tahun 90-an saat pecahnya perang saudara di republik Kongo.

PBB bersama organisasi lainnya hingga kini terus meluncurkan bantuan ke Rakhine atau tempat para pengungsi lainya. Meski demikian, dia mengatakan, keberhasilan program bantuan tersebut bergantung pada pemerintah Myanmar untuk meredakan konflik kemanusiaan yang terjadi dikawasan itu.

Grandi mengatakan, distribusi bantuan kemanusiaan itu kerap dihambat oleh etnis Budha di Rakhine yang meminta PBB dan badan bantuan non-pemerintah lainya untuk meinggalkan kawasan tersebut. Dia melanjutkan, tensi penolakan yang dilakukan itu belakangan terus meningkat.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan, distribusi program pangan PBB kembali bisa dlanjutkan bulan ini. Namun terbatasnya akses menuju Rakhine membuat PBB tak bisa menghitung pasti berapa banyak jumlah pengungsi di internal kawasan selama tiga bulan terakhir.

"Akses yang dibatasi membuat bantuan sulit menyentuh warga yang membutuhkan. Organisasi kemanusiaan juga terus menghadapi kendala akses yang sama," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement