REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Myanmar berharap dapat menandatangani kesepakatan mengenai syarat pengembalian ratusan ribu Muslim Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh. Seorang pejabat pemerintah mengatakan hal ini diperlukan menyusul kekhawatiran para Jenderal Myanmar akan menghalangi proses itu.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh oknum militer Myanmar melakukan pemerkosaan massal dan kekejaman lainnya selama operasi kontra-pemberontakan Rohingya yang diluncurkan pada akhir Agustus di Rakhirne.
Seorang juru bicara Kementerian Dalam Negeri Myanmar mengatakan, diskusi dengan pejabat Bangladesh pada Rabu telah menyelesaikan persyaratan nota kesepahaman tentang pemulangan Rohingya. "Diskusi selesai kemarin pagi, dan MoU akan ditandatangani hari ini," kata Kolonel Polisi Myo Thu Soe yang menolak memberikan rincian kesepakatan tersebut.
Pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dijadwalkan bertemu dengan menteri luar negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali pada Kamis menjelang penandatanganan.
Suu Kyi mengatakan, pemulangan Muslim Rohingya yang sebagian besar tanpa kewarganegaraan akan didasarkan pada residensi dan dilakukan secara aman dan sukarela.
Pemerintahan sipil Suu Kyi yang berusia kurang dari dua tahun masih harus berbagi kekuasaan dengan militer yang memerintah negara tersebut selama beberapa dasawarsa. Jenderal-jenderal Myanmar tampak kurang antusias dengan prospek kembalinya Rohingya.
Para pekerja kemanusiaan mengatakan kepada Reuters mereka sangat prihatin dengan sebuah pernyataan yang dikeluarkan Panglima Angkatan Darat, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, setelah pertemuannya dengan Tillerson pekan lalu. "Situasi ini harus dapat diterima baik untuk etnis Rakhine lokal maupun orang Bengali, dan penekanan harus diberikan pada keinginan etnis Rakhine lokal yang merupakan warga Myanmar sejati," kata Min Aung Hlaing dalam pernyataan tersebut.
Penggunaan istilah Bengali untuk Rohingya menyiratkan mereka berasal dari Bangladesh, dan umat Buddha di Rakhine sebagian besar menentang kehadiran mereka.
Min Aung Hlaing juga mengatakan orang-orang yang kembali akan diteliti dan diterima kembali berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 dan perjanjian bilateral Myanmar-Bangladesh 1992.
Undang-undang 1982 yang disahkan dalam masa pemerintahan junta, mengikat kewarganegaraan Myanmar dengan keanggotaan kelompok etnis diakui, mengecualikan Rohingya.
Dalam sebuah pertemuan dengan seorang jenderal senior Cina di Beijing pada Rabu, Min Aung Hlaing diberitahu bahwa Cina menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan militer Myanmar.