Jumat 24 Nov 2017 07:54 WIB

Hamas dan Fatah Makin Mesra

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Elba Damhuri
Selebrasi perdamaian Hamas dan Fatah (ilustrasi)
Foto: channel4.com
Selebrasi perdamaian Hamas dan Fatah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan Hamas dan Fatah semakin ke sini semakin tampak mesra. Kepentingan rakyat dan kemerdekaan Palestina menjadi pemersatu keduanya.

Kemarin, Hamas dan Fatah telah sepekat untuk menggelar pemilihan umum nasional pada akhir 2018. Kesepakatan ini tercapai setelah kedua faksi Palestina tersebut melanjutkan perundingan rekonsiliasi di Kairo, Mesir, Rabu (22/11).

Kendati telah mencapai kesepakatan untuk menggelar pemilu nasional, Fatah dan Hamas masih belum seiring perihal status Jalur Gaza. Salah al-Bardaweel, pejabat Hamas yang terlibat dalam perundingan rekonsiliasi di Kairo mengatakan, kesepakatan yang baru tercapai pada Rabu masih samar.

Kesepakatan tersebut, kata Al-Bardaweel, belum menyinggung perihal pencabutan sanksi yang telah dijatuhkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas terhadap Gaza. Sanksi tersebut, antara lain, pemadaman listrik serta pemotongan gaji sebesar 30 persen bagi sekitar 60 ribu warga Gaza yang dipekerjakan Otoritas Palestina (PA).

Hal ini cukup membaut Al-Bardaweel kecewa. Alasannya, sejak Oktober lalu, Hamas telah membubarkan komite administratif dan menyerahkan tanggung jawab pemerintahan di Gaza kepada PA.

Selain itu, pembukaan persimpangan perbatasan antara Gaza dan Mesir pun belum dibahas. “Kami bekerja keras untuk mencapai hasil yang praktis, seperti membuka penyeberangan perbatasan dan mencabut sanksi serta memajukan masalah rekonsiliasi. Sayangnya, hal itu terjadi,” ujar Al-Bardaweel.

Kepada delegasi Fatah untuk perundingan rekonsiliasi di Kairo, Azzam Al-Ahmed mengatakan, pihaknya bersikeras agar Hamas menuntaskan proses penyerahan kendali penuh atas Gaza kepada PA pada 1 Desember. Ia menambahkan, pertemuan dengan Hamas akan kembali digelar pada Desember untuk mengevaluasi langkah-langkah rekonsiliasi lebih lanjut.

Pejabat Palestina berharap, Mesir dapat mengutus delegasi keamanan ke Gaza dalam beberapa hari mendatang. Hal ini dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan kesepakatan yang telah tercapai.

Pada Oktober lalu dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, telah menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo. Penandatanganan kesepakatan ini menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.

Perselisihan ini dipicu oleh kemenangan Hamas dalam sebuah pemilihan umum pada 2006 yang hasilnya ditolak kelompok Fatah dan masyarakat internasional. Sejak kemenangan tersebut, Hamas mengontrol pemerintahan di Gaza.

Beberapa upaya rekonsiliasi antara kedua faksi ini sempat dilakukan. Tapi, upaya tersebut gagal karena Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada PA bila hendak berdamai.

Setelah sepuluh tahun berlalu, Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apa pun. Mereka bahkan membubarkan komite administartif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza. Hal itu dilakukan agar PA dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut.

Kantor PLO

Sementara itu, Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengaku masih terus menjalin komunikasi dengan pejabat-pejabat Palestina menyusul berembusnya kabar tentang penutupan kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington, AS. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert.

“Percakapan akan berlangsung. Kami menghubungi pejabat Palestina mengenai status kantor PLO di Washington dan membahas tentang upaya besar kami dalam proses perdamaian yang langgeng dan menyeluruh,” kata Nauert, dilaporkan laman Middle East Monitor, Kamis (23/11).

Pekan lalu, AS disebut mengancam akan menutup kantor PLO di Washington. Hal itu dilakukan karena PLO menyerukan untuk mengadili pejabat-pejabat Israel di Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) terkait kejahatan yang dilakukannya terhadap rakyat Palestina.

Seruan PLO untuk menuntut Israel di ICC bertentangan dengan undang-undang AS. Berdasarkan undang-undang AS 2015, menteri luar negeri AS harus meyakinkan Kongres agar PLO tidak mengajukan permohonan apa pun kepada ICC.

Segera, setelah ancaman tersebut tersiar, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan, akan menghentikan dan membekukan seluruh komunikasi dengan AS. Ancaman penutupan kantor PLO di Washington, menurutnya, memperlihatkan AS sangat bias terhadap Israel.

Kendati demikian, setelah kabar ancaman untuk menutup kantor PLO tersebar, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert sempat memberikan klarifikasi pada Selasa (21/11). Ia mengklaim, AS belum menutup kantor PLO di Washington. Dan, hingga saat ini, kantor PLO tersebut diklaim masih beroperasi. Tapi, belum ada pejabat Palestina atau PLO yang mengonfirmasi keterangan yang disampaikan oleh Nauert.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement