REPUBLIKA.CO.ID, BALUKHALI -- Gelombang pengungsian warga Rohingya yang sekarang memadati berbagai daerah di Bangladesh, setelah mengungsi dari Myanmar menimbulkan berbagai masalah.
Sekarang ini ada upaya menerapkan program keluarga berencana bagi pengungsi karena situasi kehidupan yang sulit akan semakin memburuk di masa depan bila keluarga yang mengungsi memiliki lebih banyak anak di pengungsian.
Padahal sebelumnya mereka juga sudah memiliki banyak anak karena pandangan hidup mereka masih tradisional.
Ketika wartawan ABC James Bennettt mengikuti kegiatan salah seorang relawan yang membantu di kamp pengungsi Balukhali, inilah yang didengarnya.
"Sudah berapa anak yang anda miliki?"
"Empat," gumam Noor Fatima, seorang pengungsi Rohingya berusia 25 tahun, dari dalam gubuknya.
"Apa yang akan Anda lakukan jika ada yang lain?" tanya seorang sukarelawan keluarga berencana, Kulsum menjawabnya.
Noor Fatima mengangkat bahu. "Jika Allah memberi, lalu apa yang bisa saya lakukan?"
Kulsum, wanita Bangladesh yang energik sudah terbiasa mendengar mendengar kalimat ini. "Allah ingin kita melakukan usaha kita sendiri dan tidak memandangnya dengan berpangku tangan saja," jawab Kulsum.
Menyakinkan kebaikan alat kontrasepsi ke komunitas konservatif ini, di mana keluarga besar adalah sesuatu yang normal dan hanya sedikit yang tahu tentang pengendalian kelahiran, tidaklah mudah.
[Noor Fatima] mengatakan bahwa dia tidak akan menggunakan alat kontrasepsi, karena anak-anak adalah kehendak Allah," kata Kulsum kepada ABC. Empat dari lima wanita yang ditemui Kulsum dan pendampingnya Shaheen Akhtar mengungkapkan hal yang sama, dan Kulsum merasa sulit untuk mencernanya.
"Saya katakan kepadanya bahwa ada ruang terbatas di kamp-kamp, hidup disini sulit. Anda punya rumah kecil di sini Bagaimana Anda bisa membesarkan begitu banyak anak di sini?" kata Kulsum.
Tekanan populasi
Dampak dari kehadiran pengungsi Rohingya situ nyata. Hanya dalam tiga bulan, pemandangan di sepanjang perbatasan Myanmar telah berubah secara radikal.
Sebanyak 620.000 Muslim Rohingya yang telah tiba di sini sejak akhir Agustus telah menggali tanah menjadi teras-teras yang dahulunya bukit yang hijau sekali. Dari udara, kolase atap terpal multiwarna membentang ke segala arah.
Pekan lalu, Palang Merah mengungkapkan persediaan air di kawasan pengungsi di Balukhali ini merosot dengan cepat, sehingga besar kemungkinan galian sumur baru untuk mendapatkan air harus ditunda untuk mencegah adanya kekeringan.
Bangladesh dan Myanmar telah melakukan negosiasi untuk repatriasi pengungsi, namun hanya sedikit yang berharap adanya solusi cepat terhadap kondisi tanpa kewarganegaraan mereka. Pejabat kesehatan masyarakat Pintu Bhattacharya berpendapat program keluarga berencana pemerintah Bangladesh harus diperluas ke pengungsi.
Di bawah skema tersebut, pria dan wanita lokal dibayar dengan gaji rendah untuk menjalani sterilisasi sukarela. "Jumlah paling banyak yang pernah saya lihat dalam satu keluarga? Sembilan belas anak," katanya.
"Minimal enam sampai tujuh. Jika kita tidak memiliki program keluarga berencana di kalangan para pengungsi maka kita akan memiliki lebih banyak kehamilan, lebih banyak bayi baru lahir dan lebih banyak populasi."
Bhattacharyaan, ahli anestesi yang juga membantu istrinya yang ahli bedah melakukan operasi vasektomi dan tubektomi, berpendapat bahwa pengendalian kelahiran masuk akal dengan terbatasnya bantuan kemanusiaan yang tersedia.
"Keluarga kecil akan memiliki akses yang baik terhadap layanan kesehatan dan memiliki ketahanan pangan juga," katanya.
"Kita bisa menggunakan metode permanen ini jika Pemerintah Bangladesh memberi kita izin. Menurut pendapat saya, kita harus menggunakannya."
Apakah itu akan terwujud? Di sebuah klinik tenda di Balukhali, pengungsi Noor Alam datang bersama istrinya Tamsin, dan dua dari delapan anak mereka di belakangnya.
Dia mendengar gagasan itu, tapi tidak antusias. "Ada pengumuman tentang sterilisasi di kamp kami," dia mengakui. Tapi kemudian dia menambahkan bahwa dia "memutuskan untuk memilih kontrasepsi sementara, untuk istri saya".
Namun demikian, ayah dari delapan orang anak ini setuju, bahwa lebih banyak anak berarti lebih banyak kesulitan. "Kita akan menghadapi lebih banyak kesulitan jika kita memiliki lebih banyak anak di sini, karena kita memiliki tempat yang sangat kecil," katanya.
"Karena itulah saya memutuskan menggunakan kontrasepsi."
"Saya bahagia, tidak ada anak lagi," kata istrinya Tamsin, setelah menerima suntikan 'Depo' - alat kontrasepsi suntik yang berlangsung selama tiga bulan.
Kesempatan untuk menjadi anak kecil
Dr Mohammad Rakibullah adalah orang yang mengawasi kegiatan penyuntikan KB itu, Ia menjelaskan ada alasan kritis lain untuk menormalisasi kontrasepsi. Perkawinan anak katanya, masih tetap sangat umum di kalangan masyarakat Rohingya.
Seberapa muda? "Lima belas atau 14 tahun," kata Dr Rakibullah. "Hal-hal seperti ini sedang terjadi sedang terjadi."
Memang, Noor Alam, ayah dari delapan yang telah datang sehingga istrinya dapat menerima suntikan kontrasepsi, mengatakan kepada ABC dia sedang mencari seorang pria untuk putrinya yang berusia 15 tahun.
"Allah dan Nabi kita mengatakan kepada kita bahwa kita perlu membuat anak-anak kita yang sudah dewasa menikah sedini mungkin," dia menjelaskan.
Ini adalah sikap yang sedang berusaha ditangani oleh sukarelawan Kulsum. "Saya merasa senang saat bisa meyakinkan mereka untuk menggunakan metode kontrasepsi," katanya.
Apa yang membuatnya tetap bertahan adalah pengungsi seperti Humaria Begum, yang melarikan diri ke Bangladesh sebagai kesempatan untuk melarikan diri dibandingkan sekadar penganiayaan.
"Orang-orang di Myanmar memilih mempertimbangkan untuk menggunakan metode kontrasepsi yang buruk," Kata Humaira Begum mengatakan kepada ABC, setelah Kulsum memberinya pil kontrasepsi.
"Orang di sana biasa mengkritik metode ini. "Mereka bahkan menduga anak perempuan yang bepergian ke luar desa menggunakan alat kontrasepsi. Adalah hal yang biasa memiliki 13, 14 anak di sebuah keluarga di Myanmar."
Humaria Begum memiliki tiga anak dan tidak mau memiliki anak lagi. "Sulit di sini," katanya.
"Saya banyak menghadapi kesulitan dalam membesarkan anak-anak ini, saya tidak mau tambahan anak lagi.”
Kulsum mengatakan dia tetap ngotot dengan mencoba menjelaskan kontrasepsi kepada para pengungsi lainnya, seperti Noor Fatima. "Saya merasa tidak bahagia saat saya tidak bisa meyakinkan mereka," katanya.
"Kita perlu mengunjunginya lagi dan lagi untuk membuat mereka mengerti."
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.