REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- PBB akan kembali melanjutkan perundingan perdamaian Suriah di Jenewa, Swiss, pada 28 November mendatang. Perundingan ini akan fokus membahas tentang penyusunan konstitusi serta penyelenggaraan pemilihan umum guna menyelesaikan krisis Suriah.
Kendati demikian, Wakil Utusan Khusus PBB untuk Suriah Ramzi Ezzedine Ramzi mengungkapkan, pembahasan dan pencapaian kesepakatan terkait proses transisi politik di Suriah tentu tak akan berjalan mudah. Hal ini mengingat rumitnya hubungan antara Presiden Suriah Basharal-Assad dengan kelompok oposisi.
"Proses politik ini sulit dan rumit karena situasi di Suriah sangat pelik dan kami sedang membangun strategi kami selangkah demi selangkah," ujar Ramzi, dilaporkan laman Asharq Al-Awsat, Ahad(26/11).
Kendati demikian, ia berharap baik pihak Assad maupun oposisi dapat terlibat aktif dalam perundingan di Jenewa mendatang. "Saya berharap putaran perundingan Jenewa berikutnya ditandai dengan partisipasi aktif dari pemerintah (Assad) dan kehadiran seorang delegasi bersatu dari oposisi yang bisa kondusif dalam mendorong proses politik (Suriah) ke depan," ujar Ramzi.
Delegasi oposisi yang dimaksud oleh Ramzi adalah Ketua Komite Negosiasi Tinggi (HNC) Nasr al-Hariri. Sebelumnya Hariri Hariri mengatakan pihaknya siap untuk membentuk Badan Pemerintahan Transisi (TGB) untuk menyelesaikan krisis Suriah. Namun badan transisi ini harus dibentuk tanpa partisipasi Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Hal ini cukup sulit dilakukan mengingat Assad telah menggelar pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin awal pekan ini. Dalam pertemuan tersebut, Putin dan Assad menyepakati ide tentang penyelenggaraan kongres nasional Suriah guna mengakhiri krisis di negara tersebut akibat dilanda peperangan selama tujuh tahun terakhir. Assad meyakinkan Putin bahwa dirinya siap menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam krisis Suriah.